23. Penolong(?)

4K 393 15
                                    

Jangan lupa vote dan komen, ya!

Happy Reading

***

Bel tanda waktu istirahat akhirnya pun berbunyi, membuat Eza bersorak senang setelah guru keluar dari kelas.

"AKHIRNYA! GUE LAPER WOY!"

Teman sekelasnya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Eza, sementara Haiden hanya menahan malu karena kelakuan temannya itu.

"Ayo, Den, kita makan ke kantin!" ajak Eza sambil menarik tangan Haiden.

Haiden berdecak sebal, ia melepaskan tangan Eza yang menggenggam tangannya, tapi ia tetap mengikuti langkah Eza menuju kantin karena jujur ia pun sudah lapar.

Begitu Haiden dan Eza memasuki area kantin, ternyata sudah banyak murid yang menempati meja kantin. Melihat itu Haiden jadi malas untuk makan, ia memang tidak terlalu suka tempat yang ramai. Namun, mau tidak mau Haiden harus makan karena perutnya kali ini benar-benar terasa lapar.

"Kita duduk di sana aja," ucap Eza sambil menunjuk ke arah meja yang sudah terisi oleh beberapa murid laki-laki. Haiden lagi-lagi dengan terpaksa mengikuti langkah Eza.

Eza menyapa 5 orang murid laki-laki yang menempati meja tersebut, sementara Haiden hanya tersenyum sambil mengangguk untuk menyapa juga karena ia tidak mengenal mereka. Haiden dan Eza pun duduk di spot yang kosong setelah meminta izin kepada 5 orang tersebut.

Sambil menunggu pesanan, mereka saling mengobrol dan bercanda, Haiden juga sesekali ikut tertawa. Meja itu penuh dengan lawakan Eza, teman dekat Haiden itu memang dijuluki si social butterfly sehingga Eza mudah untuk bergaul dengan orang baru.

Keramaian di meja itu tiba-tiba hening saat satu orang yang Haiden kenal bernama Elang itu bertanya padanya.

"Den, gue denger lo yatim-piatu, ya?"

Entah kenapa pertanyaan itu membuat Haiden sesak, dadanya tiba-tiba seperti terhantam sesuatu yang berat. Ia menunduk sambil menatap makanannya yang baru saja datang beberapa menit yang lalu, bahkan Haiden baru memakan beberapa suap.

"Lang! Gila ya lo nanya begitu?" bisik seseorang yang duduk di samping Elang, ia bernama Agam.

Meskipun Agam berbisik kepada Elang, tetapi Haiden juga bisa mendengarnya.

"Gak usah dijawab, Den. Si Elang ini mulutnya emang suka ceplas-ceplos," kata Agam. Ia menjadi tidak enak hati karena ulah temannya itu. Padahal mereka baru saja dekat dengan Haiden.

Haiden memang tidak mengenal Elang, Agam, dan 3 orang lainnya di meja tersebut, tetapi mereka mengenal Haiden karena Haiden ini cukup terkenal di sekolahnya akibat ia yang menjadi sosok kapten tim basket di sekolahnya. Apa lagi ditambah beberapa bulan lalu Haiden mampu membawa timnya memenangkan pertandingan yang membuat kaki Haiden cidera.

"Gak apa-apa. Iya, gue emang udah gak punya orang tua," jawab Haiden sambil mencoba untuk tersenyum.

Elang yang bertanya pun jadi merasa tidak enak, ia berdehem sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, teman-temannya termasuk Eza menatap Elang dengan tajam.

"Maafin gue, Den," ucap Elang.

Haiden tetap tersenyum sambil menganggukan kepala.

***

Nathan yang duduk di bangku meja belajar sesekali melirik ke arah jam kecil yang ia sengaja letakkan di sudut meja belajarnya.

Hari sudah malam ternyata dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Nathan baru saja menyelesaikan makan malamnya sendiri karena kedua orang tuanya sedang ada acara di luar. Kedua kakaknya pun sedang ada kesibukan masing-masing, Rendra yang memiliki jadwal praktik malam di rumah sakit dan Jason yang katanya masih ada mata kuliah.

HAIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang