Bab 21 Tebing Kematian

273 34 5
                                    

Debur ombak yang tak putus menampar bibir tebing yang curam, terbawa angin dingin menuju laut. Dilihat dari atas jurang terlihat ujung batu karang yang runcing bagaikan taring, menyeruak diantara gelombang laut yang berbuih, siap menyambut siapa saja yang naas jatuh dari ketinggian.

Ngarai itu tidak terlalu sempit cukup untuk dua kereta yang saling berpapasan, namun karena disisi kanan tebing terjal, sedangkan di sebelah kiri adalah lautan membentang luas. Lengah sedikit maka kereta bisa jatuh terperosok jurang dan hancur berkeping tersapu ombak.

Sementara nun jauh disana terlihat siluet gunung yang memiliki puncak menyala-nyala, itulah kota Benteng Hitam yang hendak mereka tuju.

Waji, telah ditugaskan oleh Ki Rongkoh untuk membawa dua tamu penting dalam kereta menuju Kota Benteng Hitam malam itu juga. Ki Rongkoh berpesan untuk mengantarkan mereka dengan  cepat, jangan sampai tersusul terbitnya fajar. 

Dengan sigap Waji melecut pecutnya agar kuda berlari lebih kencang. Semangat Waji tidak padam walau harus meninggalkan keluarganya di tengah malam untuk menunaikan tugas dari Kepala Desa. Kesiur angin malam seperti es menyapu kulit, sementara suara debur ombak menyeruak diantara deru roda pedati yang melindas kerikil, ia segera merapatkan kerah bajunya untuk menghalau dingin.

Jalur langit walau dikatakan orang menakutkan, namun bagi Waji jalan itu ia anggap seperti halaman belakang rumahnya, sedari kecil ia sudah diajak berdagang ke Benteng Hitam oleh orang tuanya, ia hapal di luar kepala dimana posisi karang maupun batu yang berbahaya untuk dilalui. Dengan kecepatan seperti ini mereka akan tiba dalam sepeminuman teh batinnya, masih lama hingga waktu terbitnya fajar.

Trakk

Kusir itu merasakan serpihan kerikil mulai berjatuhan di atap kereta, ia mencium gelagat tidak beres.  Segera ia dongakkan kepala ke atas dan...

Netranya tertumbuk pada suatu benda yang tak seharusnya ada disana, bulu kuduknya pun meremang. Dua ... tiga - tidak, tapi lima buah peti berwarna hitam tampak terbang melayang mengikuti kemana keretanya pergi.

Benda terkutuk itu menyebabkan batu kerikil berjatuhan dari atas saat terantuk batu tebing. Mata Waji terbelalak dan napasnya tertahan melihat benda itu meluncur dari atas semakin mendekat kearahnya. 

Tidak buang waktu kusir itu segera memacu kereta kuda lebih kencang, keringat dinginnya menetes, bagaimana mungkin jalan ini bisa ada iblis?

Jalan langit sering disusuri para pendekar dari dan ke Benteng Hitam. Sudah lama ia tidak melihat para demit berseliweran di jalur ini karena mereka pasti sudah dimusnahkan sedari dulu oleh para pemburu hantu!

Tiba tiba salah satu Kuda meringkik saat dari bibir tebing melesat sebuah bayangan hitam. Waji segera menarik tali kekang agar kereta tidak terlempar ke kiri. Dengan susah payah ia menghentikan laju kereta sambil  menyeimbangkan kedua ekor kuda yang berontak mengangkat kaki.

"Hissss ckckckck"

Saat bayangan itu menjelma di tengah jalan  Sais itu langsung menghunus golok yang  tersampir di pinggang. Nampak bayangan itu berputar menjadi asap bergelung, sosok jangkung muncul  diantara asap hitam yang tebal, memiliki badan penuh bulu panjang berwarna hitam. Tangannya terlihat tidak wajar dengan kuku tajam berwarna darah. Raut mukanya tak terlihat karena tertutupi bulu, namun matanya yang bulat nampak bercahaya merah menggidikkan. Terdengar suara geraman aneh yang begitu berat.

"Setan!" umpatnya parau dari kursi sais. Tangan Waji bergetar hebat, ia sungguh teramat ketakutan berkali kali ia melihat ke depan dan belakang, namun ia tidak bisa meninggalkan kedua tamu yang menjadi tanggungjawabnya.

Mahluk itu meloncat ke arah Waji ditambah dengan lima Lampor yang meluncur tajam dari arah belakang. Saat suara ombak bergemuruh Posisi kereta itu tergencet dua serangan sekaligus!

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang