Bab 4 Harapan

476 49 4
                                    

Matahari mulai meredup dengan merahnya. Terlihat Daun kering rontok tertiup angin. Saat memasuki musim kemarau biasanya pepohonan akan mulai meranggas, bahkan pohon jati di tepian hutan memilih  tak menyisakan selembar daunpun. Sementara suhu udara berbeda amat jauh antara siang dan malam. Bahkan kali ini berbeda dari musim kemarau yang sudah-sudah, Di kala siang matahari seperti meleleh, sementara saat malam dingin terasa menusuk tulang hingga ke sumsum. 

Di sebuah tonggak kayu besar  di ujung jalan desa Kemukus, terlihat pria tambun yang terikat kuat oleh tali rotan yang liat, Sapali menunduk dengan rasa perih. Kerongkongannya terasa berpasir, bibirnya mulai pecah karena tak dikunjungi air sejak semalam. Nanah mulai terbentuk dari lecet kaki yang terpasung oleh  rantai besi.

Matanya nanar, tak berdaya setelah dilumuri caci dan hinaan dari hampir semua warga kampung yang lewat, akan dosa berat yang tak pernah ia lakukan.

Hingga sampai sore menjelang  ia tak melihat keluarganya datang melihat dirinya. Apakah mereka diancam warga untuk tidak mendekat? ataukah jangan-jangan istri dan anaknya meninggalkan desa ini tanpa dirinya? Ah baguslah jika mereka melarikan diri,  amarah warga desa lebih biadab dari iblis, tidak pandang bulu padahal ia telah banyak membantu mereka dulu. Hanya karena ia menyimpan  sepasang ayam cemani. Alasan yang menggelikan dan terlalu mengada-ada.

Tapi bagaimana bila istrinya kabur dengan orang lain? Tempo hari  istrinya mengeluh tak ada yang dapat dimasak dan menyuruh Sapali bekerja ke kutaraja Kalingga untuk mendapat penghasilan lebih banyak.

Ah

Sapali menggeleng lemah, berusaha mengenyahkan pikiran yang berkecamuk, tujuannya saat ini hanya satu, Ia harus bisa bebas sebelum malam menjelang,  entah bagaimana caranya, sebelum ia dijadikan umpan santapan kawanan demit itu. Semalam ia bisa lolos dengan ajaib, hari ini belum tentu. Selama nyawa ini masih melekat aku harus kabur.

Sreek

Suara semak yang tersibak, mata Sapali menangkap bayangan seseorang melewati jalan setapak dari arah hutan. Setumpuk ranting kering terlihat memenuhi punggungnya yang bungkuk.

"To.. long...To..long" erang lelaki tambun itu memelas.

"Sapali?"

Nenek Pini, seorang pencari kayu hutan tertegun melihat kondisi mengenaskan Sapali yang terikat, entah sejak kapan ada tonggak kayu menjulang di sebelah kanan jalan utama menuju desa. Begitu kokoh dengan seorang manusia yang terikat 

"nek .. tolong..."

Wanita penuh uban itu terdiam, sedikit ragu melihat keadaan pria itu. Babak belur dengan darah yang sudah mengering disana-sini.  Baru dua hari ia ke gunung, begitu pulang  telah terjadi sesuatu di desanya.

"Jangan pergi nek, aku benar Sapali yang pernah menolong membangun kembali rumahmu yang diterjang banjir." ujarnya. "Yang turut menggali kubur untuk suamimu, tolong aku."

"Ya Gusti ... benar kamu?" erang Nek pini terkesiap.

Ingatan Nek Pini berputar ke masa lalu, memang sudah tak terhitung jasa Sapali terhadapnya maupun warga Kemukus. Ia orang yang baik, mana mungkin bisa diikat layaknya bramacorah begini.

Nenek itu berusaha mengumpulkan keberaniannya dan datang mendekat dengan tertatih, "Oalah... Sapali-Sapali kenapa begini nasibmu nak..."

 Ia lantas duduk disebelah Sapali dan meminumkan kendi labu yang berisi air tawar. Terasa manis dan segar di tenggorokan lelaki itu.

Sarpini bergegas segera menurunkan ikatan kayu bakar dipunggungnya. Lalu mengeluarkan parang tua yang ia pakai untuk memotong ranting kayu.

Dengan bersusah payah ikatan rotan ditangan Sapali itu berhasil putus. Tenaganya memang sudah lapuk sehingga membutuhkan waktu lama,  sayang, mata besi tua itu langsung rompal begitu diadu rantai  yang membelit mata kaki Sapali.

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang