Diluar pekarangan Gedung Aula utama Benteng Hitam keadaan masih ramai dengan perayaan pernikahan sang putri, semua bernuansa serba merah, penuh denga niuh gelak tawa dan teriakan kebahagiaan. Namun berbalik seratus delapan puluh derajat dengan keadaan mendekati Aula Utama. Orang ramai tidak mengetahui bahwa dibalik pintu gerbang ruang Aula yang tebal suasana pernikahan yang batal malahan terasa mencekam dan dingin. Para tamu undangan sudah meninggalkan aula sedari tadi karena ada urusan internal yang harus dibereskan.
Kini para pendekar tamu itu menanti diluar dengan penuh rasa ingin tahu apa yang selanjutnya akan terjadi di dalam.
Seluruh mata perwira terpaku pada satu titik, yaitu Larantuka dan Candini yang saling beradu punggung untuk saling menjaga. Senjata mereka sudah siap dimuntahkan, tatapan mereka mengandung amarah yang tertahan, hanya satu arahan saja dari Majikan Benteng Hitam maka mereka akan serentak meloncat dari tempatnya untuk memberi pelajaran bagi para penerobos markas Benteng Hitam.
"Bukan main, Kalian Jabang Bayi hendak bermain dengan nyawa yang cuma selembar! Aku beri kau kesempatan sekali lagi Anak Muda! Selesaikan proses upacara ini maka aku akan menerimamu sebagai mantu di Benteng Hitam. Walaupun sehina, semiskin secacat apapun dirimu. Aku... anggap pemberontakan ini tak pernah terjadi" ujar Waranggeni dengan nada rendah, namun terlihat bahwa rahangnya mengeras, dan rangkaian urat nadi menyembul dari lengannya yang kekar. Pendekar senior itu berusaha menahan emosi yang sudah meledak.
Para perwira diruangan itupun terdiam mendengar amarah tertahan dari Ki Waranggeni yang selama ini suka meledak-ledak. Tanpa berani berucap sepatahkatapun. Artinya kesalahan Larantuka sudah terlalu dalam, apabila pemuda ini salah dalam berucap maka dipastikan pemuda itu tidak akan bisa keluar dari pintu Aula hidup-hidup.
Larantuka menghela napas dalam, ia menjura dengan sedikit merendahkan kepalanya. "Kisanak telah memperlakukan hamba yang hina ini dengan penuh penghormatan. Sayangnya saya yang miskin ini tidak mampu membalasnya dengan harta maupun perbuatan. Mohon kiranya Tetua memaafkan perbuatan hamba dengan mengijinkan undur diri dari Benteng Hitam."
Waranggeni menggertakkan giginya, wajahnya terlihat lebih menyeramkan dengan mata yang berkilat.
"Kau dengar Kirana? Lelaki ini tak sudi menikahi pejabat tinggi Benteng Hitam, malah mau lari dari upacara pernikahan dengan bocah kecil. Mau ditaruh dimana muka kita? Tidakkah kau mau turun tangan untuk menahan kepergian calon suamimu?" tanya Ki Waranggeni.
Kirana membuang mukanya di kejauhan, "Kakek, pernikahan belum selesai. Dia belumlah menjadi suamiku. Apa yang dia mau lakukan, terserah kepadanya." ujar Kirana sambil menggigit bibir.
Setelah kejadian di sumur dan di tebing, Kirana merasa tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menundukkan pendekar cacat itu. Larantuka punya seribu cara untuk merontokkan siasat dan tipuan dari wanita cantik itu.
"Ha ha ha ha ha!"
Tawa Waranggeni membahana, ia bertepuk tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali dibuat heran tujuh keliling dengan kelakuan Kirana. Belum habis hari berganti, Kirana sudah berubah pikiran, bila diawal tadi ia bersikeras agar Larantuka menjadi pemenang dan menikahinya namun kini malah ogah-ogahan menerima pemuda tanggung ini.
"Hmm baik! Karena kini kau bukan siapa-siapa lagi, maka... Jangan sebut namaku Waranggeni bila kepalanku ini tidak bisa meremukkan kepalamu! Penjaga! tutup semua pintu keluar! Jangan biarkan kedua cecunguk ini kabur. "
Nasib Larantuka dan Candini sungguh seperti lalat yang terperangkap di sudut kamar. Para perwira pilihan sudah menutup jalan keluar di sekeliling mereka, satu-satunya jalan adalah meloncat ke atap aula yang tinggi dengan berpijak pada pilar-pilar ruangan yang besar dan kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?