Entah apa yang ada dipikiran Rongkoh saat mengikat anak putri satu satunya ke sebuah pohon jati tepi hutan, berharap ada demit malam yang memakan hidup-hidup anak cantik menggemaskan itu.
Ia bergegas mengikat tali di pergelangan kaki anaknya yang tengah menangis tersedu. Kinasih takut ayahnya akan meninggalkannya dalam keadaan marah.
"Ayah tidak usah diikat. Jika ayah mau, aku akan tinggal disini sampai besok supaya Ayah tidak marah lagi. Besok pagi ayah bisa datang menjemputku disini asal ayah jangan marah." pinta Kinasih.
Ki Rongkoh menghela napas. Hampir tidak ada kemungkinan anak ini bisa melewati malam dengan selamat di hutan Larangan. Warga yang berani menantang nyali untuk masuk ke Hutan malam-malam akan diketemukan tinggal nama di keesokan hari.
Cahaya mata Kinasih bercahaya, berkedip-kedip dilapisi airmata yang bening. Lelaki itu menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah, hatinya terasa gamang sesaat, sekejap raut anaknya memang sangat mirip dengan ibunya. Namun kenangan lama itu kembali datang membakar amarahnya. Layaknya sekam yang membara kembali saat tertiup angin.
Semua itu berawal dari sebuah malam penuh badai guntur bersahut-sahutan. Sriasih, istri satu-satunya Rongkoh tengah bergulat kepayahan di pembaringan sederhana dari bambu. Perutnya yang membuncit nampak besar seperti hendak pecah sewaktu-waktu. Air ketuban telah pecah, menandakan isi dalam perut Sriasih sudah cukup matang, pertanda akan adanya jabang bayi yang siap untuk dilahirkan ke dunia ini.
Brakk
Pintu bambu rumah itu pun terbuka lebar, bersamaan dengan angin kencang yang menggidikkan, menghembuskan tetes-tetes air yang dingin. Dua sosok nampak masuk dengan segera, Ki Rongkoh datang menggendong seorang dukun beranak yang sudah renta. Napas ki rongkoh hampir putus dengan tenaga hampir habis untuk menggendong nenek itu bermil mil jauhnya. Tidak ia pedulikan badai yang menggema diluar, hanya ada kekhawatiran menusuk-nusuk hati pria itu, ia segera menggenggam tangan istrinya yang terkulai lemas sementara sang dukun memeriksa sudah sampai mana proses kehamilan Sriasih.
Nenek itu terkadang mendelik dan menggelengkan kepala seakan tak percaya. Ia sudah memeriksa dengan seksama, hitungannya dari terakhir ia bertandang seharusnya usia kehamilan baru enam purnama namun saat ini janin ini sudah matang seakan-akan sudah sembilan purnama!
Apakah ini benar anak manusia? ataukah terlahir sebelum waktunya? Ia melirik ki Rongkoh namun lelaki itu seperti tidak mengerti apa-apa.
"Cepat panaskan air! aku akan memagari rumah ini." seru sang Nenek seakan tak acuh pada pertanda alam.
Darah dari ari-ari berbau sangat amis, namun terasa sangat wangi bagi mahluk alam kegelapan tentunya akan mengundang demit malam dari hutan bila tertiup angin. Untuk itu dengan pengalaman puluhan tahun, Nenek itu menabur berbagai penghalang gaib dengan mulut komat kamit merapal japi mantra supaya proses persalinan aman dari marabahaya. Terutama dari kuntilanak pengincar anak bayi.
Diluar badai semakin menggila, rumah gubuk itu bergoyang-goyang seperti mau terbawa angin bahorok.
Ki Rongkoh terduduk sambil meremas tangan istrinya, ia takut kehilangan orang yang paling dikasihinya dan juga anak semata wayang yang sudah ia tunggu bertahun-tahun kehadirannya.
Bayi itu sangat sulit dikeluarkan, seakan hendak tinggal dalam kandungan ibunya. Dengan peluh bercucuran sang dukun berkali-kali berusaha memutar posisi jabang bayi agar mendekati ke mulut rahim, namun bayi itu selalu menghilang dari cengkraman jemari si nenek. Akhirnya setelah satu dentuman dahsyat dari petir yang menggaris langit, jabang bayi itu bisa lahir. Anehnya kulit ari-arinya sangat tebal membuat Sang Nenek harus membelahnya hati-hati dengan sembilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?