Kesiur angin malam diantara daun rumbia terasa dingin menyengat kulit. Namun tidak mampu meredakan suasana panas dalam bale pertemuan milik Ki Rongkoh. Belasan pasang mata masih berdiri tegak diantara bangku dan kursi dari kayu jati. Semuanya tertuju pada pendekar Akhirat dan Larantuka yang saling berhadapan.
Lampu minyak yang tertiup anging menimbulkan bayang-bayang menyeramkan. Dalam sekejap bisa saja terjadi pertarungan dahsyat antara pendekar tersebut.
Padi berisi beras akan selalu menunduk,
Petuah lama dari sang guru itu telah bersarang di hati Larantuka. Ia tidak lantas menghindar dari lemparan guci tuak Mahawira. Karena menolak pemberian minum pendekar sama artinya menghina secara terang-terangan, tentunya akan membawa lebih banyak masalah dikemudian hari. Oleh karena ituuntuk mereguk simpati lawan, ia menyodorkan telapak tangan kanannya untuk menyambut serangan itu. Tenaga prana yang lembut namun kuat membuat tembok tak terlihat menyelubungi tapak Larantuka, ia tak terbakar panasnya guci.
Kini Guci itu berputar putar dengan dahsyat di udara, asap mengepul menandakan panas air tuak yang mendidih. Belasan mata abdi dalem terpaku pada keahlian Larantuka dengan decak kagum.
"Hamba Larantuka menghaturkan terimakasih atas sambutan para pendekar disini." sambut pendekar berjubah hitam itu.
Bergola Ijo menjadi penasaran dengan kemampuan asli Larantuka. Pendekar antah berantah yang tak pernah ditemui selama ini bagaimana bisa unjuk gigi begitu saja didepan khalayak ramai. Apalagi lawannya adalah pendekar pilih tanding yang sudah terkenal di delapan penjuru tanah Jawa.
"Guci tuak sudah ditangan, hayoh mari kita bersulang!" bentak lelaki Kekar itu menggenggam gelas tuak dan menebaskannya dengan arah melingkar.
Dengan kasar ia menyarangkan gelas itu ke dada Larantuka - penuh prana penghancur. Larantuka serta merta menerima dengan dada terbuka karena tangan kanan sedang memegang kendi tuak.
Blugghh
Bergola tersenyum licik melihat pukulannya kena sasaran, membuat Larantuka sedikit terbungkuk seperti kesakitan, namun sedetik ia merasa aneh. Tubuh lawan terasa ringan, tak sepatah kataun yang keluar, tenaga pukulannya seakan terhisap masuk ke pusaran air. Apakah lawan menggunakan ilmu penyerap prana?
"Kakang! aku juga mau!" tawa Nararatih. "Tuak ini aku yang bayar" ujarnya sambil menjepit uang kepeng di jemarinya yang lentik.
Dengan sekali lontar, guci di tangan Larantuka pun pecah! Airnya yang panas berhamburan membasahi Larantuka layaknya hujan. Asap mengepul dimana-mana.
"Kalian kelewatan!" umpat Ki Rongkoh yang disambut gelak tawa pendekar Akhirat.
Nararatih mengejek, "Kami cuma mau berkawan dengan pendekar ini, tidak lebih. Mengetes kepandaian juga hal yang lumrah dalam dunia persilatan! Seiris dua iris, jari patah atau kuping terpotong tidak jadi masalah."
Bukan main, Ki Rongkoh menjadi semakin jengkel atas tindakan para pendekar akhirat terlebih ia masih membutuhkan bantuan Larantuka untuk mengembalikan putrinya. Ditambah musuh bisa kabur walaupun ia sudah mendatangkan tiga pendekar bayaran yang sakti mandraguna.
"Huh yang aku lihat hanyalah tiga pendekar akhirat mengerjai seorang cacat yang lebih lemah, jika kabar ini tersebar luas akan ditaruh dimana muka ini?" sindir Ki Rongkoh dingin. "Sudah buruan lepas, malah menyalahkan orang cacat."
"Apa katamu?" jengek Nararatih bangkit dari duduknya tidak terima. Mukanya memerah menahan amarah. Begitupula dengan Bergola Ijo yang sudah mengumpat berkali-kali.
"Berhenti! Pak tua, aku masih berlaku sopan karena kamu sudah menyewa kami, apabila orang lain mungkin sudah binasa sedari tadi!" ujar Mahawira kereng. Mendadak suasana ruang balai pertemuan menjadi sesak dan terasa panas. Telapak tangan Mahawira mengusap kusen jendela perlahan, hasilnya adalah kayu jati tersebut lantas menghitam jadi arang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?