Bulan bersinar terang, cahayanya di sela dedaunan memantul di permukaan air danau bagai kunang-kunang. Tepat di pinggiran danau terdapat dua sosok tengah berjalan diantara rimbun pepohonan. Suasana malam begitu hening dan tenang tanpa sedikitpun bunyi hewan malam.
"Kakang, kapan kita sampai ke Desa? perutku sudah keroncongan" keluh Candini lagi-lagi memegang perutnya yang kosong. Entah sudah berapa kali dia menggerutu, supaya lelaki disampingnya membuka mulut. Sekedar menemaninya mengobrol.
"Terkadang Aku ingin sepertimu Kakang, mampu menahan tidak makan hingga berhari-hari tanpa tersiksa rasa lapar" tambah Candini.
Sayangnya lelaki itu hanya diam saja sambil menatap lurus ke depan seperti patung, membuat gadis itu jengkel bukan main. Entah dimana fokus Larantuka, kenapa ia tidak bisa menjadi pusat perhatian lelaki berhidung mancung itu.
Dari balik kerah baju Larantuka, menggeliat sesosok mahluk licin bersisik. Begitu kepalanya terlihat menyembul, terlihat mata berbentuk segaris lurus dan lidahnya yang bercabang.
"Heh bermimpilah terus bocah, kau masih harus bertapa ratusan tahun baru bisa mencapai tingkatan pertapa seperti dia." ejek Sancaka, ular hitam perewangan milik Larantuka.
Candini melotot ke arah Sancaka, namun ia tidak mau berdebat seperti biasa. Karena cuma Sancaka yang betah bersilat lidah begitu lama dengannya. Energi akan banyak terkuras.
Perjalanan kali ini dirasa cukup berat bagi gadis itu, beberapa kali kakinya harus terperosok jalinan akar pohon yang melingkar, ditambah rasa lapar karena seharian belum makan.
Larantuka tiba-tiba berhenti terdiam seraya mengedarkan ke penjuru Danau. Hidungnya mencium bau anyir yang tersembunyi diantara udara. Bulu burung merak gaib yang tersampir di sela rambutnya berputar-putar walau tak ada angin yang bertiup.
"Ada demit disini..."
Candini terbelalak dan langsung memasang kuda-kuda untuk bersiaga. "Dimana kakang? Mana?"
Suara kecipak air menandakan ada sesuatu dari danau , keduanya lantas menengok ke arah datangnya suara. Perlahan dari permukaan air muncul benda bulat tertutup rambut hitam. Semakin lama, benda itu mendekati mereka berdua, menampilkan sesosok tubuh perempuan berambut panjang yang berjalan dengan tenang. Sebagian wajahnya tertutupi rambut tapi Candini bisa melihat mulut dan hidung yang rusak tak beraturan.
"Wahai pengelana, apakah kalian sepasang kekasih?" ujar sosok menyeramkan, air nampak menetes dari dagunya yang seputih kertas.
Wajah Candini mengeras, "Apa pedulimu demit!"
Sarinti kembali tertawa, "Aku benci dengan sepasang kekasih, mengingatkanku akan kekasihku yang meninggalkanku sampai mati!" Sebelah Matanya melotot tajam, "Tapi melihat keadaan mukamu yang jelek, sunguh tidak sebanding dengan ketampanan lelaki ini, aku yakin kalian bukan sepasang kekasih kik kik kiiik."
"Tutup mulutmu sundal!" Candini menerjang ke depan seraya menyorongkan telapak penuh tenaga Angin dan Hujan. Kemarahan gadis itu meledak.
Suara keras terdengar saat tapak Candini bertubrukan dengan Cakar Sarinti. Saat bentrokan pertama itulah inti dari sebuah pertarungan, kedua pihak dapat saling menakar kekuatan musuh. Apabila musuh sama terdorong mundur artinya kemampuan mereka hampir setara. Lain halnya jika satu pihak mampu mendorong lawan sampai muntah darah maka kepandaiannya bisa dikatakan lebih dari satu tingkat dibanding lawan.
Pendekar yang cerdik akan mengambil langkah seribu apabila lawan terlalu tangguh, yang naif akan cepat menemui ajal. Umur harus panjang untuk berlatih kanuragan dan kembali membalas dendam, karena nyawa didunia cuma satu lembar.
Akibat gebrakan pertama Sarinti terdorong dua langkah mundur begitu pula Candini. Tangan mereka terasa kebas akibat benturan prana.
Larantuka mulai maju ke depan, prana sudah ia himpun di dalam dada, namun Candini lebih cepat merintangkan tangannya di depan dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?