Suara kuda terdengar tiga ratus tumbak jauhnya namun hewannya malah tidak kelihatan, hanya terdengar derap kuda yang berderap kencang. Bayangan putih sekelebat melintas di jalan setapak yang lengang nan basah oleh hujan yang lewat, bila manusia melihatnya pasti seperti melihat hantu. Namun bayangan itu bukanlah sejenis demit melainkan benar-benar kuda yang berlari teramat kencang.
Di sadel kuda tersebut nampak dua orang bercaping lebar saling duduk berhimpitan, melawan hembusan angin dingin yang menusuk-nusuk kulit. Dari balutan kain kecoklatan compang camping yang menutupi sekujur tubuh mereka nampak bahwa perjalanan yang telah dilalui tidaklah sebentar.
"Kakang, sudah setengah hari kita berlari tanpa henti, seharusnya desa terakhir Kemukus sudah ada di hadapan kita. Alangkah baiknya kita beristirahat dahulu." ujar pengendara yang duduk didepan. Dibalik caping bambu tersembunyi sebentuk wajah bulat telur dengan mata jernih kehijauan.
Sementara lelaki yang dibelakang tidak menjawab, dan hanya berguman. Matanya menatap kosong ke depan, dengan iris sehitam jelaga malam.
"Kakang Larantuka?"
Lelaki itu sedikit tersentak, lamunannya buyar dan kini ia kembali dalam kenyataan. Perjalanan masih teramat panjang dan mereka sedang di buru oleh waktu, tidak mungkin membuangnya untuk sekedar melepas lelah.
"Kita hanya berhenti saat kita menjumpai Desa Kemukus Candini, itupun untuk mengisi perbekalan saja, ingat tujuan kita masih sangat jauh. Lembah Neraka Hijau, tempat terasing di dunia manusia."
Candini memicingkan matanya, sedari pagi memang perutnya belum terisi, jangan samakan ia dengan Larantuka yang telah paripurna kesaktiannya hingga bisa membuat rasa lapar datang dan pergi sesuka hati.
Suara ringkikan kuda kembali terdengar membelah hutan di sepanjang jalan setapak itu. Dari jauh terlihat sebuah bangunan manusia di pinggir hutan. Sebuah rumah makan kecil beratap rumbia, mata Candini kembali berbinar, artinya kemungkinan sebentar lagi mereka akan menjumpai pemukiman manusia.
"Ah kakang lihatlah Mustika Putih sudah kelelahan, sekujur tubuhnya sudah penuh dengan air keringat, dunia sangat luas, tidak akan habis bila dikejar. Nah kebetulan didepan ada gubuk penjual makanan. Baiknya kita segera melepas lelah disana!" ujar Candini sambil menunjuk ke depan.
Namun rumah itu terlihat gelap dan pintu serta jendelanya tertutup rapat. beberapa meja makan sudah ditumpuk tidak digelar. Mana mungkin orang akan datang bersantap disana?
Pendekar itu hendak menolak tetapi Candini sudah terlebih dahulu menarik tali kekang Mustika Putih. Kuda itu segera meringkik keras dan mengangkat kedua kakinya. Ladam binatang itu segera mendarat tepat di depan bangungan yang hampir miring.
"Candini..." tegur Larantuka.
"Ayolah Kakang, kita bisa menanyakan dimana Desa Kemukus. Ini akan menghemat waktu kita. Selain itu perutku sudah keroncongan. Mungkin penghuni gubuk itu memiliki makanan untuk kita beli." sahut wanita itu sambil meringis. Menyisakan Larantuka dengan gelengan kepalanya.
Kedua pendekar itu segera melompat turun dari tunggangan. Tangan Candini menepuk pantat kuda itu, segera saja hewan itu meringkik dan berlari menghilang diantara semak belukar. Mustika Putih terbiasa mencari makannya sendiri diantara pepohonan hutan yang rimbun.
"Nah istirahatlah barang sejenak Mustika Putih." teriak wanita itu, sembari berbalik dan langsung mengetuk pintu gubuk itu.
Sekian lama mengetuk dan mengucap salam ternyata tidak didapat balasan, hening dan sunyi senyap. Candini semakin tidak sabaran. Ketukannya semakin kencang dan suara semakin keras. Di samping pintu itu terdapat jendela besar yang bisa dibuat berjualan. Dan dari dalam gubuk tidak ada sebentuk cahayapun menandakan bangunan itu kemungkinan tidak sedang dihuni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?