Suara Ombak menderu terdengar sahut menyahut dari atas tebing, Waji berusaha melongok dari bibir jurang namun gelapnya malam membuat dasar jurang tak terlihat. Suara ringkikan kuda yang menyayat kewarasan sudah tidak terdengar lagi, menandakan ajal sudah pasti menjemput Larantuka dan Candini. Jika tidak tewas tertusuk batu karang, pastilah terhempas ombak ketengah dalamnya laut selatan.
Waji menelan ludah, raut mukanya terlihat tegang karena telah menghilangkan dua nyawa manusia tak berdosa sekaligus. Tangannya yang berkeringat mengepal untuk meredam rasa bersalah, "Maaf Kisanak, Nisanak, kalian terpaksa aku korbankan demi nasibku. Aku ingin hidupku berubah."
Keji, suatu hal yang terlalu mudah bagi manusia lakukan saat nafsu serakah bersarang di hati. Lebih berbahaya daripada api banaspati yang meluluhlantakan, lebih mematikan daripada santet maupun teluh yang merayap di gelapnya langit malam.
Walau ilmu kesaktian Larantuka terbilang susah dicari tandingannya namun tak menghalangi ramuan aneh penghilang tenaga meruntuhkan kesaktian yang dimiliki pendekar pemburu iblis itu.
Tepat saat itu terdengar dengus dari suara kuda dibelakang. Tiga sosok menunggangi kuda perlahan muncul dari kegelapan. Para pendekar akhirat, Bergola Ijo dan Nararatih di depan sementara Mahawira mengikuti dari belakang.
"Bukan main kerusakan tebing ini, jumlah pasukan iblis yang mengikuti kereta itu tidak kuduga sebanyak ini, rupanya benar yang kita kejar ini bukan demit sembarangan Kakang, mungkin benar kalau dia Raja Demit Karangsetra." ujar Nararatih sambil mengamati dinding tebing yang luluh lantak. Serpihan tulang belulang masih terlihat terserak di jalan setapak dengan daging busuk kehitaman yang masih melekat. "Dan untungnya semua halangan tadi ditumpas oleh saingan kita yang sudah mampus."
Mahawira menggertakkan giginya, tangannya meraba dinding tebing, bekas gosong terlihat disana-sini, nampaknya pertarungan berlangsung dahsyat. Pendekar bernama Larantuka itu ternyata benar menyembunyikan kesaktian yang cukup lihai.
"Apa benar kedua orang itu sudah mampus?" tanya Bergola Ijo sambil melipat tangannya didepan dada.
"Sudah tuan, di dasar jurang."
"Kau sudah racuni dalam minumannya?"
Waji mengangguk, matanya tak lepas dari kantung kulit yang dikeluarkan lelaki gempal itu dari balik baju abunya. Nampak berat dan bergemerincing saat kantung itu berpindah tangan.
Kedua penunggang itu saling berpandangan, senyum puas terukir di wajah mereka. Hanya Mahawira yang melempar pandangan ke laut lepas. Tidak tersenyum sama sekali. Nampaknya ia masih belumpuas menjajal kesaktian Larantuka.
"Nah terimalah ini lantas kau enyah dari hadapan kami" usir Bergola Ijo sambil melempar kantung itu ke tanah.
Ketiga pengendara itu hendak berlalu namun Waji masih berdiri di jalan setapak sambil memegang kantung tadi.
"Tunggu" sergah Waji.
"Ada apa lagi?" balas Nararatih dengan ketus.
"Aku hampir meregang nyawa tadi, upah lima ratus kepeng ini tidaklah cukup Kisanak sekalian."
"Apa maksudmu? Kenali posisimu yang rendah orang kampung!" bentak Bergola Ijo.
Namun lelaki desa itu balik berteriak sambil mengacungkan telunjuknya, " Yang menaruh Jimat Penarik Roh di kereta itu kalian bukan? Para demit menjadi mengepung dan mengejar kami. Itu tidak termasuk dalam kesepakatan kita, aku hampir mati dibuatnya."
Waji menatap tajam tiga pendekar culas itu, rupanya tidak hanya menyuruhnya menaruh racun dalam tempat minum melainkan juga membersihkan jalan dari kawanan demit dengan taruhan nyawanya sendiri. Mereka tak peduli jika ia juga bisa mampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?