Bab 33 Pertempuran Sengit

275 29 6
                                    

Angin menderu membawa udara basah ke kancah pertempuran, dinginnya menusuk tulang. Angin ini berhembus kencang dari arah belakang para pendekar akhirat secara mendadak. Membuat selendang Nararatih yang tadinya tergelung menjadi berkibar seperti bendera. Reflek Nararatih memutar tubuh dan menyorongkan sepasang telapak saktinya untuk memapas serangan gelap itu, begitupula dengan Bergola Ijo secepat kilat memukulkan tinjunya ke belakang menembus pusaran angin.

Namun kekuatan dua pendekar itu masih mentah, ditambah konsentrasi yang buyar dan pemusatan energi tak sempurna kekuatan mereka bagai telur menabrak batu dibandingkan serangan gelap tadi. Apalagi posisi kedua pendekar yang baru mendaratkan kakinya ke arena gelanggang tentunya posisi kuda-kuda belumlah kuat menyangga. Kontan mereka harus terpental mundur tiga langkah kebelakang, terlempar keluar dari gelanggang arena pertempuran. Tak urung sumpah serapah dan cacian membanjiri mulut mereka.

Mahawira yang mengetahui ada pembokong gelap tanpa ragu ia berteriak kencang  dan menerjang ke arah pusaran angin yang bergelung dengan jurus Tujuh Langkah Akhirat. Langkah kakinya mengabur tak terlihat dengan asap kehitaman.

"Gila! Tua bangka! Apa maumu!" geram Mahawira melayangkan pukulan bertubi-tubi.

Umpatan itu dibalas dengan tawa ejekan yang nyaring.

Mahawira mengerahkan jurus Jilatan Api Neraka ke  telapak tangan, membuat sepuluh jemari pemuda itu berpendar kemerahan. Jurus panas seharusnya bisa menang melawan jurus dingin. Sontak pusaran angin itu terbelah. Sesosok berjubah putih bagai kilatan cahaya berjungkir balik diudara dan langsung menyambar dari atas secepat alap-alap laut.

Namun sasarannya bukan Mahawira melainkan ke Pangeran Bulan Putih dan Pelukis Darah!

Pangeran Bulan Putih dengan cerdik secepat kilat memutar telapak tangan membentuk jalur-jalur lingkaran, inilah awal mula jurus ke lima dari Kitab Angin dan Hujan yang terkenal yaitu Mengirim Hujan ke Seberang Gunung.

Jurus ini dengan ajaib mampu mengalihkan tenaga lawan yang merusak bagai air yang menghanyutkan. Seketika hawa serangan menukik ke arah samping kanan tempat Pelukis darah bersiaga. Pendekar berbaju merah itu terkejut karena harus menerima dua serangan sekaligus.

Penonton menjerit, sebagian lagi berdecak kagum akan kelihaian Bulan Putih.

Bless

Alih-alih ledakan besar, dua rangkum tenaga itu menembus pelukis darah bagaikan kapuk Randu yang tertiup angin. Aneh bin ajaib! Pelukis darah melayang mundur sambil berjumpalitan dua kali lalu mendarat dengan mantap di sudut arena.

Sontak semua yang hadir di tempat itu rapat bertepuk tangan melihat pertunjukan yang luar biasa menarik. Dalam satu minggu kedepan jurus jurus tadi akan menjadi buah bibir di kalangan pendekar dan rakyat jelata.

Pangeran Putih Bulan mengulap ujung bibirnya, dalam senyum yang ditawarkan hatinya bertanya-tanya gerangan jurus aneh yang diperlihatkan musuh. Nampak bahwa lawan tidak dapat dipandang sebelah mata lagi.

Lalu kemanakah pembokong gelap tadi?

Pusaran angin tadi hinggap di kursi sebelah Ki Waranggeni, begitu reda semua penonton kembali bersorak saat mengetahui bahwa sosok itu adalah seorang kakek berjubah putih dengan santainya membelai janggutnya sendiri yang panjang.

"Luar biasa-luar biasa, yang berdiri di Arena saat ini sudah memiliki kemampuan mahatinggi. Tak kusangka jurus Badan Kapas yang sudah lama punah muncul lagi di dunia persilatan.  Cocok untuk menjadi calon mantumu Waranggeni."

"Tutup mulutmu Tua Bangka! Ayo kemari kesini dan bertarung sampai mati" bentak Mahawira sambil mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi.

Ki Waranggeni menggeleng-gelengkan kepala. "Saptabumi kawanku apakah kau mau mengacaukan pertarungan atau malah mau ikut serta meminang cucuku?" Tanya Waranggeni dengan nada berat.

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang