Cahaya sendu dari rembulan, masih mengintip malu di balik awan. Sinarnya menerobos jendela kamar mandi berpalang kayu, jatuh tepat di permukaan kulit kuning langsat Kinasih yang polos. Menjadikannya bercahaya bagai pualam, semakin bertambah kecantikan dara ayu ini berkali lipat.
Masih menggunakan kemben, gadis ini bersenandung sambil menyiram segayung air ke rambutnya. Bau wangi terpancar dari bak kayu yang penuh berisi air. Kembang setaman yang telah kering nampak mengambang di permukaan, Ni Tampi terlalu lama menyiapkan bunga segar, terpaksalah ia memakai bunga kering yang tersimpan di kamar.
Bibir merah jambu itu berkata lirih. Matanya mulai berkaca.
Kakang
Sesuai janjimu, bila bulan mulai menampakan wajahnya
Kau akan datang
dan memetik sekuntum rindu yang telah lama mekar
Kakang
Kau telah menanam pesonamu dalam pusara ingatan
Tak kan pudar hingga senja melintasi waktuku
Brakkk
Pintu kamar tiba-tiba terbuka secara paksa. Menyisakan raut cantik yang pucat pasi.
Sebaliknya Ki Rongkoh memandang wajah anak gadisnya dengan muka semerah kepiting rebus. Jampi jampi macam apa yang telah membuat anaknya sakit siang malam serta mabuk kepayang hingga seperti orang gila? Mandi kembang malam hari hanya untuk mempersembahkan jiwa raga pada demit alias jadi tumbal!
"Kemari sini!"
Jemari kokoh kepala desa itu mencengkeram pergelangan Kinasih lalu tanpa ampun menyeretnya ke kamar. Setelah menghempas putri satu-satunya ia mengunci pintu tersebut dengan palang kayu yang besar.
Suara tangisan terdengar jelas saat Ni Tampi melewati dapur. Dahinya berkerut melihat Ki Rongkoh tengah berdiri termenung tepat di depan kamar Kinasih. Keadaan sangat genting di luar ia harus segera memperingatkan mereka berdua mengenai serangan teror dari para dedemit.
"Ndoro.."
Suara berderak dari dalam kamar menandakan penghuninya memaksa ingin keluar.
"Bopo aku ingin keluar! biarkan aku pergi Bopo..." isak Kinasih dari balik pintu. Gedoran di pintu makin kencang.
Ni tampi terhenti, jadi suara tangisan itu berasal dari putri majikannya.
"Tidak! Demit itu sudah mengguna-gunai pikiranmu Kinasih. Jangan sekali-kali tinggalkan kamarmu, ingat maut akan menanti bagi mereka yang bersekutu dengan iblis. Kau camkan itu! aku tak ingin kau menjemput ajal dengan pergi bersama iblis itu!" ancam Ki Rongkoh.
"Tapi aku mencintai dia Bopo, calon pengantin yang akan mempersuntingku sebagai istri. Dan kami akan hidup bahagia aku jamin Bopo..."
Ki Rongkoh kesal bukan main ia menggebrak pintu kamar lebih keras. Seharusnya ia menyadari sedari awal sebelum semuanya menjadi terlambat. Entah kapan dan dimana Kinasih terpikat oleh Dedemit sementara anak itu tidak pernah keluar dari desa. Kali ini ia mengigau ingin dinikahi oleh mahluk berbeda alam itu. Perkara yang melanggar kodrat alam ini sudah pasti akan mengundang bencana malapetaka di kemudian hari. Tidak hanya nyawa Kinasih tetapi juga bisa mengancam seluruh warga Kemukus.
"Buang angan mulukmu Kinasih, kau sudah termakan tipu daya mereka. Kaum iblis akan mengambilmu menjadi budak mereka, setelah puas maka mereka akan memakan jiwa dan ragamu sebagai tumbal kesaktian, ingat baik baik itu!" ujar Ki Rongkoh dengan luarbiasa marahnya, hampir ia masuk kembali untuk menampar mulut kurangajar anaknya.
Ni Tampi terkejut bukan main, ia mengira racauan puteri majikannya itu hanyalah tanpa makna, ternyata memang benar adanya, Kinasih ingin bertemu dengan pangeran Impian dari alam gaib. Segera saja ia buang ke lantai bunga tujuh rupa yang diminta Kinasih, hal ini memantik perhatian Ki Rongkoh.
"Tampi! apa yang kau lakukan disitu? Darimana saja kau kenapa tidak menjaga Kinasih seperti yang kuperintahkan?" tanya Ki Rongkoh dengan mata melotot.
Hardikan majikan besar membuat Ni Tampi ketakutan, dengan terbata ia menerangkan bahwa Bergola Ijo telah siaga dan serangan kaum demit sudah dekat.
Belum sempat Kepala Desa itu bersuara tiba-tiba lantai rumah bergetar hebat seperti ada gempa. Suara berisik terdengar akibat angin riuh kencang menampar semua daun jendela di luar.
"Ndoro Gusti ba...."
"Sssst!"
Sedetik hanya kesunyian mengisi telinga Ni Tampi, lalu...
Blammm
Terdengar dua suara dentuman keras dari samping halaman, kembali menggetarkan dinding anyaman bambu rumah joglo itu, membuat Ni Tampi limbung. Rupanya Bergola Ijo sudah bergebrak dengan para iblis. Wajah Ki Rongkoh terlihat pucat. Ia berubah pikiran dan membuka balok pengunci pintu untuk melarikan Kinasih dari rumah itu. Sebentar lagi kaum Demit akan mengepung rumah ini. Jika tidak kabur maka kamar Kinasih adalah tempat yang paling diincar.
Pemandangan di dalam kamar berubah menjadi suram dan gelap. Tengkuk Ni Tampi merinding saat melihat siluet putih tengah bergerak-gerak di dalam kamar. Ki Rongkoh segera mengambil obor yang terpasang di sebelah luar pintu.
Cahaya dari jilatan api segera memasuki kamar. Sosok itu adalah Kinasih yang mengenakan kebaya serba putih. Ni Tampi tak bisa melihat wajahnya karena ia menari membelakangi mereka. Tariannya terlihat aneh, biasanya anak itu menari dengan luwes dan pantas sehingga digilai para pemuda desa Kemukus. Tapi kali ini jemari lentik itu tampak bergerak patah-patah tidak wajar.
"Kinasih kemari! Aku berubah pikiran, kita harus pergi dari sini secepat mungkin!" perintah Ki Rongkoh. Nadanya bergetar menyimpan kepanikan.
Terdengar gelak tawa panjang, bergema memenuhi ruangan, membuat sakit gendang telinga Ni Tampi hingga ia harus menutup keduanya dengan telapak tangan.
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?" gertak Kinasih tanpa berbalik. Suaranya terdengar aneh bagi Ki Rongkoh, lebih mirip suara nenek-nenek.
"Bangsatt!! siapa kau? Keluar dari sini!" teriak Ki Rongkoh sambil melompat ke Kinasih dengan tangan terpentang lebar.
Mendadak Kinasih berbalik sambil memperlihatkan matanya yang putih total tanpa warna hitam. Ni Tampi memekik kecil melihat majikannya berubah. Kinasih dengan seringainya yang lebar menyambut tangan Ki Rongkoh dengan tepisan kencang.
Ki Rongkoh kaget dan langsung mengirimkan tiga serangan cakar andalannya, lagi-lagi dengan gerakan terpatah namun secepat kilat Kinasih berhasil mementahkan semua serangan itu.
Kepala Desa itu semakin menyadari ketidak beresan Kinasih, gadis itu tak pernah sekalipun mengicip ilmu Kanuragan dan mempelajarinya, bagaimana mungkin dalam sekejap berubah menjadi petarung lihai?
Kedua orang tersebut saling bertukar serangan hingga belasan jurus, dan tiba tiba punggung tangan Kinasih segera menohok ulu hati pria paruh baya itu tanpa bisa ditangkis, membuatnya terhuyung mundur lima langkah. Lelehan cairan merah segera keluar dari sudut Ki Rongkoh.
"Haram Jadah!" umpat Ki Rongkoh
Suara gelak tawa kembali bergema.
Kinasih berputar sambil menjejakkan kakinya ke lantai kayu. Segera saja tubuh ramping itu melenting ke atas, menerobos rumbia dengan mudah. Ayahnya segera berusaha bangkit kembali, dan ikut melompat menembus atap rumah dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Saat diatap ia melihat Kinasih sudah terkulai lemas diatas punggung seseorang. Tubuh orang itu begitu pendek dan ganjil, mungkin hanya selutut. Ki Rongkoh berusaha menajamkan pandangannya. Sosok itu semakin terlihat jelas saat langit memerah akibat kobaran api demit banaspati yang berputar-putar.
Seorang nenek-nenek berbaju kumal dan sobek berwarna hitam. Rambutnya memutih, menjulur sampai ke lutut. Mata nenek itu hitam legam dengan seringai yang terlalu lebar hingga sampai ke telinga.
Tawa nenek itu yang kembali terdengar bergema.
Jantung Ki Rongkoh terasa berhenti melihat sosok itu.
(bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?