Bab 32 Pelukis Darah

275 27 4
                                    

Para warga dengan antusias berduyun-duyun memasuki pelataran Balairung SwarnaDipha saat gerbang dibuka. Di saat akhir laga Sang majikan telah berbaik hati memperbolehkan para warga menyaksikan pertarungan memperebutkan kursi kepemimpinan Benteng Hitam selanjutnya. Sekaligus mempersunting Nona besar kebanggaan mereka yang cantik dan cerdas. 

Kelihaian para pendekar dalam berlaga bakal menjadi buah bibir dalam obrolan di warung kopi atau kedai makan dalam beberapa bulan kedepan. Terutama jurus-jurus aneh yang belum pernah dilihat langsung. Beberapa orang bahkan memegang taruhan ratusan kepeng uang untuk pendekar yang mereka jagokan. Tentu saja mereka tidak diperbolehkan mendekati area gelanggang tarung yang berbahaya.  Hanya kalangan pendekar saja yang diperbolehkan berdiri di tepi luar arena pertarungan.

Ribuan pasang mata kini menonton Laga Keramat yang berlangsung di pelataran Paviliun SwarnaDipha dengan seksama, seakan tak ingin kehilangan momen yang berharga walau sesaat. Karena ini kesempatan yang langka dimana pendekar tingkat atas akan menggunakan jurus-jurus terlihainya untuk menyerang maupun bertahan. Dengan mengamati laga pertarungan sesungguhnya dapat membuka pencerahan baru terutama bagi pendekar lain dalam memahami ilmu kanuragan, sekaligus meningkatkan kemampuan dalam membaca jurus. Pendekar yang lebih pandai mampu melihat kelemahan lawan dan membuat gerakan penangkal apabila harus bertempur dengan pemilik jurus di kemudian hari.

"Hayooh siapa lagi yang mau merasakan bogem mentahku!" sesumbar Sugriwa sambil menepuk dadanya yang bidang. Badannya agak limbung karena sudah mengeluarkan tenaga dalam lumayan banyak.

Kesiur angin prana berhembus dari badannya yang dibalut keringat. Nampak dua pendekar telah tumbang kaki Sugriwa akibat bertumbuk dengan kepalan mahasakti miliknya.

Angin yang berhembus kencang dari pelataran membuat dupa besar penghitung waktu menyala terang, tampak separuhnya sudah menjadi abu. Pertanda dalam sepeminuman teh laga akan berakhir, dan pemenang akan segera ditentukan. Semua orang menunggu dengan tegang, apalagi Kirana yang tak sadar telah berdiri dari tempat ia duduk agar bisa melihat lebih jelas dari kejauhan.

Tiba-tiba sinar kemerahan menutup pandangan mata Sugriwa, tahu-tahu ia berada dalam kepungan kain berwarna merah yang berputar. Sontak ia mengarahkan kepalanna memutar ke segala arah, hawa sakti menyebar, menyengat ke empat penjuru namun tabir merah itu tidak koyak sedikitpun.

Tahu-tahu punggungnya terasa dingin seperti diguyur air, sontak ia menendang ke arah belakang seperti kalajengking. Namun tendangannya seperti menendang udara kosong. Ia pun menggelinding ke depan tiga putaran. Saat ia berdiri tabir merah itu mendadak sirna, sesosok pendekar berbaju merah sudah berdiri di hadapannya sejauh dua tombak. Kain menutupi mukanya hanya menyisakan sebidang tipis untuk kedua belah mata.

Pelukis Darah.

Sosok misterius itu sudah mengenggam semacam kuas sepanjang sepuluh dim. Gagangnya nampak kokoh dan terbuat dari logam, sedangkan ujungnya adalah kuas dari helaian rambut berwarna putih. Nampak di ujung kuas itu terdapat cairan merah segar yang kental. Tatapan mata yang tajam nampak mengintimidasi semua orang yang hadir.

"Heh pendekar Merah rupanya kau juga hendak bertarung! Apa maumu? Kau tidak pantas ada disini, lebih baik kau mengembara daripada mempersuntuing Nona muda Benteng Hitam. Aku peringatkan sebaiknya sayangi nyawamu karena aku bisa saja kelepasan membuat dadamu malah berlubang. Hayoh mundur saja sekarang juga!" gertak Sugriwa.

Para penonton sontak meneriakkan kata 'huu' kepada Sugriwa, karena tanpa pertarungan tak ada tontonan yang seru.

Pelukis Merah malah nampak santai sambil berjalan lambat ke depan. Ia menggoreskan kuasnya ke kanan dan ke kiri di udara seperti hendak melukis sesuatu.

"Cat ini berwarna merah, sayangnya bukan terbuat dari darah. Selanjutnya punggungmu yang akan menjadi alas catku dan darahmu menjadi catnya." ujar Pelukis Darah dengan nada dingin menggidikkan.

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang