Bab 6 Misteri Kabut Kematian

401 49 6
                                    

Gelap malam mulai menelan desa Kemukus, kabut dari dalam hutan berhembus dengan cepat mengurung setiap jalan dan lorong-lorong pedukuhan. Bahkan pohon besar yang memagari rumah penduduk tak ubahnya menjelma bagai sosok siluet hitam yang mengerikan. Semua terlihat suram dan samar, jarak pandang hanya sejauh tangan membentang. Ditambah rumah-rumah, bukannya menyalakan pelita, mereka malahan mematikan semua sumber cahaya yang ada. Tidak ada yang mau mengundang rombongan kaum demit dengan adanya api di rumah. 

Ya untuk malam ini, penduduk akan menunggu dengan gelisah dalam diam dan gelap. Mulut ibu-ibu akan terkunci rapat, para suami tak kan berani melinting rokoknya, apalagi celoteh para bocah dan remaja, mereka sengaja ditidurkan lebih awal. Hanya hari ini saja mereka akan berpura-pura mati..., desa Kemukus telah lenyap dalam ketakutan dan keputusasaan manusianya.

Manakala dihadapkan pada jalan buntu harus melawan kuasa yang lebih besar daripadanya, kebanyakan mereka memilih tunduk demi selembar nyawa yang menempel di badan. Hanya satu dua saja dari tiap dukuh yang berani melawan dengan berkumpul di rumah kepala desa. Itupun dengan resiko pulang hanya tinggal nama.

clang.. clang

Suara bergema itu menandakan masih adanya jerih upaya dari Sapali untuk memutus rantai kaki yang membelenggu. Mulutnya penuh rutuk kepada warga yang tega mengumpankan dirinya pada Demit Lampor sambil tangannya memukulkan batu cadas ke rantai besi dengan gemetar. Ia sampai bersumpah akan menghantui warga desa ini bila sampai mampus ditangan demit itu.

Percuma.

Rantai itu terlalu tebal dan liat. Telapak tangan nampak lecet berdarah. Ia mengambil jeda sejenak untuk memperpanjang napasnya. Memandang lautan kabut putih yang terbentang.

Tiba-tiba bulu tengkuknya merinding, ia menjalankan matanya kesekeliling, namun hanya terlihat putih kabut perlahan membungkus pepohonan dan semak, menyelimuti jalan desa yang berbatu. Sapali menahan napas, lalu berteriak memanggil satu persatu nama warga desa, namun ucapannya hanya menggema tanpa balas. Suara jangkrik, tonggeret dan burung malam lenyap  ditelan kabut. Aneh, kemana suara itu pergi? Sungguh benar-benar ganjil .

Perlahan Pria itu merasakan perbedaan suasana, sepi mencekam terasa intens mengaliri sekujur tubuhnya. Terlebih hanya kabut putih membentang dihadapannya. Samar-samar Ia seperti melihat sosok di balik kabut, dan semakin banyak. Lama-lama mereka terlihat berbaris di balik kabut. Pria itu menggosok matanya berharap itu hanya bayangan ketakutannya saja,  tapi memang sosok bayangan itu benar-benar ada!

Dan beberapa di antara mereka ... bertanduk.

Tangan mereka berujung runcing, menggapai-gapai seperti  hendak menembus tabir alam manusia.

Sapali merasa anyep.

Anyep, sebuah kata yang mewakili rasa tawar, dingin dan hampa. Rasa itu mulai merasuki, sama persis saat ia bersua dengan hantu penunggu danau kemarin. Firasatnya mengatakan, tak lama lagi sosok para demit itu akan menjelma dihadapannya.

Duh Gusti, ujarnya dalam hati sambil menunduk.

Sluman slumun slamet, slamet saking wisa, slamet saking braja lan slamet saking sengkala.

Ia rapal doa perlindungan dari dalam hati pria tambun itu. Kini Sapali hanya bisa terdiam pasrah. Napasnya satu-satu, detak jantungnya bahkan terdengar sendiri. Hawa dingin meniup kakinya menjalar sampai ke dada.

Dan netranya melotot saat kabut misterius itu mulai terbuka. Benda hitam panjang seukuran batang kelapa merayap, menggeser bebatuan dan kerikil jalanan.

Sreekkk...!

Tanah seakan bergetar.

Sapali seakan tak mempercayai matanya sendiri, benda besar panjang itu berwujud sebuah jari berkuku runcing diselimuti rambut kasar seperti ijuk yang sambung menyambung. Kabut semakin tersibak, jari itu semakin lengkap membentuk sebuah tangan hitam berbulu raksasa. Begitu besar. Netra Sapali  sampai memutih untuk melirik ke atas, ia paksakan mendongak keatas dengan mulut terbuka untuk melihat pemilik lengan raksasa itu. Pria itu berada diambang kewarasan saat sepasang mata merah sebesar kepala manusia menatapnya tajam dari balik kabut. Seperti hendak menelan bulat-bulat.

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang