Malam hari waktunya binatang malam keluar, entah burung hantu, serangga hewan pengerat atau bahkan ular. Namun tidak dengan mahluk yang berjalan perlahan diatas atap penginapan. Terdengar perlahan bergesekan dengan daun kering. Nampak ilmunya belum begitu sempurna bagi telinga Larantuka yang tajam.
Sambil duduk bersila, sekejap Larantuka menjentikan jari telunjuknya ke arah jendela penginapan. Tidak kuat namun juga tidak lemah. Sebersit prana lantas menolak bingkai kayu membuat jendela itu terbuka lebar. Sontak pengintip di atas atap terkaget saat Larantuka lantas menghilang dari tempat duduknya.
Serangkum angin dingin menerjang keluar jendela.
Sadar akan bahaya ketahuan, sosok pengintip itu segera melenting tiga tumbak dan berjungkir balik untuk menjauh dari dinding penginapan, namun pundaknya terasa berat! Lima jari Larantuka tahu-tahu sudah mencengkram disana bagaikan cakar besi, mau tak mau sang penyusut terpaksa mendarat ke tanah bersamaan.
Pengintip itu berbaju serba hitam dengan wajah pucat pasi. Bagaimana bisa orang yang ada dihadapannya tahu-tahu bisa berpindah ke belakang? Sungguh ilmunya teramat tinggi. Larantuka sendiri lantas mengenali dia sebagai salah satu penjaga gerbang desa yang tadi pagi ia temui.
"Maaf Kisanak apa tujuan anda mengendap-endap kemari?" tanya Larantuka dengan nada dingin seraya melepaskan kunciannya.
Penjaga tersebut memijat pundak untuk mengurangi rasa linu di bahunya. "Ampun Tuan, Saya hanya mendapatkan perintah Bopo Kepala Desa, untuk mengawasi kalian berdua." Tersirat rasa takut dari mimik wajah penjaga itu.
Pendekar itu menghela napas. Apa sebenarnya maksud dari kepala desa? Mengapa mereka menjadi incaran padahal tidak ada kesalahan yang ia perbuat.
"Kami tidak sedang membuat onar disini dan hanya sekedar lewat. Sampaikan kepada tuanmu untuk membiarkan kami, kami akan keluar dari desa ini besok pagi sekali." ujar Larantuka sambil berbalik ke arah penginapan.
"Tuan, hendak ke Benteng Hitam untuk mencari tabib? besok gerbang Benteng akan tertutup untuk semua pengunjung dari luar karena ada acara penting. Hanya Bopo Kepala Desa yang bisa membantu Kisanak saat ini, untuk itu beliau juga berpesan untuk mengundang Kisanak untuk datang ke tempatnya apabila tertarik akan bantuan beliau."
Larantuka melirik Penjaga itu, rupanya Kepala Desa telah mengetahui pembicaraannya dengan sang tabib. Namun ia masih ragu untuk meninggalkan Candini yang sedang sakit sendirian.
"Mengenai teman Tuan jangan khawatir, kami disini akan berjaga untuknya, sebab itu juga perintah dari Bopo. Apalagi Nisanak itu adalah petinggi Kalingga tentu kami sebagai bawahan tidak akan berani macam-macam" tukas si Penjaga seakan merasakan kekhawatiran Larantuka.
Larantuka terdiam sejenak. Sedari tadi memang ia mendengar suara-suara yang hilir mudik di sekitar kamar. Kini beberapa orang tersebut keluar dari persembunyian di sekitar kamar. Mereka menjura dengan hormat sebagai pengawal. Tampaknya keselamatan Candini masih terjamin.
"Tunjukkan jalannya." ujar Larantuka pada akhirnya.
***
Rumah kepala desa terletak sebelah tenggara dari penginapan, hampir di pusat desa, dengan sekali sentak Larantuka melayang menuju arah yang ditunjukkan sang penjaga. Begitu tinggi membuat mulut penjaga itu menganga. Jubah pendekar itu lebar mengembang, di langit gelap penuh bintang bagaikan burung malam yang terbang berputar mengintai mangsa. Dibalik bayangan hitam pendekar itu sungguh tersembunyi kekuatan yang mematikan.
Walaupun malam menjelang, rumah kepala desa tetap ramai diterangi deretan obor bambu. Tampak besar dan mewah dikelilingi deretan pohon kelor. Tampak beberapa kesibukan para abdi dalem membersihkan pelataran dan memperbaiki atap yang rusak akibat serbuan kaum demit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?