Bab 44 Balas Dendam Pemuja Iblis

193 19 3
                                    


Candini menjerit ngeri manakala serangan puluhan ribu kati Waranggeni menghujam bumi tanpa ampun. Tanah seketika bergetar layaknya gempa dahsyat. Langit-langit Aula Swarnadipha serasa hendak runtuh dalam sekejap. Namun yang mengerikan adalah serangan itu  menghasilkan lubang yang besar akibat tumbukan tenaga dua pendekar sakti.

Larantuka sudah terluka parah namun harus menerima pukulan sedahsyat itu, Candini benar-benar ketakutan untuk membayangkan bagaimana jadinya nasib pria yang sudah menemaninya sampai sat ini.

Pemuda kurus itu sendiri terkejut karena serangan tapak lawan jauh ratusan kali lipat diatas gabungan tenaga dua ilmu Inti miiknya. Kekuatan simpanan terakhirnya hanya seperti telur yang menumbuk batu. Prana Sembilan Kegelapan dan Pusaka Langit seperti  sirna begitu memasuki jangkauan prana musuh, hal yang sangat mustahil. Saat tenaga Melebur Semesta Merekah bersentuhan dengan raga Larantuka, tenaga tersebut mendobrak, meraung di dalam sendi, otot dan pembuluh darah.  Sekujur tubuh Larantuka terasa dibetot tenaga tak kasat mata, tulang dadanya serasa dipilin dari pinggang ke mata kaki, setelah itu badan terasa menggembung hendak meledak karena energi yang terus masuk.

Bila tidak benar-benar dilindungi oleh tenaga Sembilan Kegelapan, tentu tubuh Larantuka sudah meledak sedari tadi. 

Penolongnya adalah pengalaman bertempur yang sudah terasah dalam ribuan perarungan. Pemuda itu dengan reflek  menggunakan jurus Badan awan tubuh Angin untuk meredam pukulan musuh, keras tidak bisa dilawan dengan keras. 

Waranggeni merasakan kepalannya seperti meninju kapas, tenaganya terasa los ke belakang tubuh pemuda itu. Saat bertumbuk dengan lantai aula menimbulkan ledakan untuk kedua kalinya.

Blammm

Debu tebal mengepul menutupi pandangan orang yang masih berjaga. Terasa perih saat tersangkut di pelupuk mata. Sementara kerikil berjatuhan menimbulkan suara seperti hujan.

 Bahkan lantai granit yang tebal tak mampu menahan kekuatan Warranggeni hingga pecah berantakan, ternyata dibawah ruang Aula itu terdapat lantai bawah tanah menuju lorong panjang  yang tak terhitung banyaknya. Kemanakah mereka berdua pergi?

"Kakang-dimana?! ujar Candini melompat ke tengah kawah untuk mencari Larantuka yang tak kelihatan batang hidungnya, diikuti para perwira yang menjaga Candini sedari tadi. Mereka juga ingin memastikan keadaan sang majikan apakah baik-baik saja.

Dilantai bawah, Waranggeni mengedarkan pandangan ke segala penjuru untuk mencari Larantuka. Pendekar muda itu tampak dudukdi reruntuhan dengan setengah berlutut di lantai. Kedua tangannya tergeletak lemas di bawah. Yang kiri lunglai karena memang sudah lumpuh sedangkan yang kanan sudah babak belur penuh darah mengalir karena menahan gempuran dahsyat ilmu Melebur Semesta.

Napasnya tersengal dan semua darah yang meleleh dari sudut bibirnya berwarna hitam.

Waranggeni menyeringai seram. Luar biasa! Ada yang masih hidup setelah menerima serangan mutakhirnya, walaupun dalam kondisi setengah hidup setengah mati.

"Bagus rupanya kau memiliki kepintaran untuk bertahan. Nah bakatmu sangat langka anak muda. Sukar dicari keduanya. Aku tanya sekali  lagi ... apakah kau memilih jalan kehidupan dengan bergabung menjadi Anggota Benteng Hitam. Atau kau mau memilih jalan kematian dengan menjadi duri di jalan Benteng Hitam? "

Larantuka menatap tajam, ia tak pernah mau menjadi bawahan orang lain. Ia sudah muak dengan keterikatan dan menghendaki kebebasan dalam perjalanan hidupnya. Ia hidup hanya untuk menumpas golongan iblis dan demit.

Waranggeni menghela napas sambil mengagkat ke lima jarinya. "He! Aku sudah bisa menduga jawabanmu, kau bagaikan serigala liar tanpa Tuan. Mengembara sendiri di padang bebas memang menyenangkan, tapi ingatlah serigala yang sendirian tidak akan  pernah bertahan lama! Terimalah Panah Besi Menembus Bintangku dengan kekuatan penuh!"

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang