Sosok pendekar aneh itu mulai terlihat jelas. Pemuda dengan postur tubuh ringkih namun tinggi menjulang bermantel kusut serba hitam. Rambut hitam legam dengan kulit putih bagai pualam. Sangat kontras, seperti bukan manusia ditambah dengan raut mukanya yang sangat tampan namun ketampanan itu bernuansa mistis dengan alis tajam dan tatapan mata yang sayu. Matanya yang berwarna hitam kehijauan seakan mampu menembus jiwa orang yang dipandang. Orang akan kesulitan untuk menebak usia Larantuka, raut mukanya belasan namun terpancar wibawa seorang petapa yang sudah berusia ratusan tahun.
Pangeran Bulan Putih memiliki ketampanan yang tiada duanya. Namun rasanya seperti Bulan yang mendapatkan cahaya dari matahari bila dibandingkan dengan Larantuka. Hanya sayang penampilan mereka jauh berbeda. Baju Bulan putih mewah terbuat dari kain sutra pilihan, sangat menonjolkan kedudukan dan kewibawaannya sebagai panglima kerajaan Kalingga.
Sedangkan Larantuka memakai pakaian tak ubahnya seorang pengemis gelandangan yang tentu saja langsung dipandang sebelah mata oleh para penonton.
Dan pengemis itu muncul secara tiba-tiba sesaat setelah tiga ilmu pamungkas saling bertumbuk hebat. Membuat orang tak percaya apakah dia siluman ataukah manusia?
"Heh pengemis, mau apa kemari. Lebih baik kau menyingkir!" seru seorang pendekar yang tengah asyik menonton.
Diikuti riuh protes penonton lainnya. Kedatangan Larantuka ini telah membuat pertandingan menjadi terjeda. Warga Benteng Hitam sendiri juga menjadi tersulut amarahnya karena pengemis itu sungguh tidak sedap dipandang, mana mungkin bisa disandingkan dengan Putri Kirana yang secantik bidadari. Ramai-ramai mereka meminta Larantuka untuk turun gelanggang.
Bulan Putih menjura dengan sopan, "Sebaiknya Kisanak segera meninggalkan arena gelanggang. Atau kisanak akan terluka parah, kami tidak menjamin nyawa Kisanak bila terus berdiri disini."
"Benar! Yang tadi itu kau beruntung, Prana kami telah bertubrukan sebelum kau muncul hingga kekuatannya saling menihilkan. Lain kali tentunya kau tidak akan seberuntung tadi." tukas Pelukis Darah sambil menunjuk-nunjuk kepala Larantuka.
Mahawira hanya melihat dari samping kanan, ia menduga Larantuka telah menerima ketiga serangan itu semua dengan suatu alasan. Terlihat dari asap mengepul dari mantel yang ujungnya bekas terbakar ajian Segara Geni. Ditambah darah merah yang merembes keluar dari sudut bibir pemuda misterius itu. Pastinya pemuda itu mengerahkan semua tenaga yang ia miliki untuk membuat sebuah benteng prana yang mahakuat.
Yang jelas ia sudah bisa meraba seberapa tinggi kekuatan pemuda itu, tidaklah kurang dari yang ia miliki. Namun Mahawira tidak mau mengakui itu sebelum ia benar-benar mengerahkan semua kekuatannya. Dan ia bersyukur Larantuka tidak mati begitu saja, malah muncul di arena pertarungan untuk bertarung melawannya. Senyum sumringah mengembang di wajah pemuda tanggung itu, jiwwanya bergolak seakan tidak sabar untuk bergebrak kembali.
Bergola Ijo dan Nararatih merasa kecolongan dari jauh. Bubuk racun pelemah otot ternyata tak mampu untuk mengubur Larantuka di dasar jurang.
"Seharusnya kita beri Racun lain yang lebih keras Kakang." bisik Nararatih.
Bergola Ijo berguman dengan kesal. "Kita tunggu kesempatan bagus untuk membuat orang itu mampus."
Ditengah riuh rendah para penonton, Larantuka menjura memberi hormat ke para pendekar. Dalam kepalanya hanyalah ada bayangan Candini yang menantikan kedatangan dirinya.
"Hamba Larantuka, ijinkan hamba untuk turut serta memperebutkan putri Kirana."
"Apa katamu? lebih baik turun saja pengemis busuk!" ujar penonton.
"Ya enyah saja dari sini!" sahut yang lain.
Bulan Putih berusaha mengambil kesempatan untuk meredakan suasana yang mulai panas. "Tuan Larantuka, semua yang hadir disini memiliki tujuan yang sama, namun tentunya kami membawa persiapan yang mencukupi. Apa tujuan Kisanak yang sepertinya muncul tiba-tiba tanpa suatu persiapan selain hanya menghambat dari kontes ini." tuduh Panglima itu dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?