Bab 31 Laga Pendekar

262 29 7
                                    


Suara sorak sorai para pendekar membahana, memenuhi Teras Paviliun SwarnaDhipa seluas seratus depa, teras itu sudah dipersiapkan gelanggang laga berbentuk persegi yang semarak dihiasi kain warna warni oleh para abdi dalem Benteng Hitam. Suara genderang ditabuh bertalu-talu semakin menambah kemeriahan sekaligus  menandakan acara sudah dimulai.

Para pendekar berkumpul mengelilingi arena sementara Ki Waranggeni duduk di kursi kehormatan yang disediakan tak jauh dari arena. Sementara disebelahnya ada  Kirana, juga sudah berada dalam tandu dengan tirai berlapis yang dikelilingi para dayang.

Para sesepuh seperti Begawan SaptaBumi telah duduk di kursi kehormatan begitu pula dengan para pendekar terpilih pendekar Bulan Putih dan Pelukis Darah, namun Tiga Pendekar Akhirat lebih memilih untuk tetap di meja sembari menghabiskan hidangan yang tersedia dengan tenang.

Bagaimana dengan Ki Baruklinting yang telah mengacau jamuan awal di dalam Aula tadi? ternyata orang tua tersebut sama-sama tergeletak bersama dengan pemuda lawannya, sampai-sampai harus ditandu ke ruang tabib.  Rupanya ilmu kanuragan mereka sama-sama setanding dan saling mencelakai hingga sama-sama  terluka dalam.

Dalam laga ini Ki Waranggeni membebaskan pendekar menggunakan keahlian masing-masing entah itu tangan kosong, ataupun menggunakan senjata. Semua pendekar dibebaskan untuk saling bertanding satu lawan satu atau lawan banyak sekaligus. Mereka yang menyerah atau terlempar ke luar arena dianggap kalah, peserta dilarang keras membunuh lawah, bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi berat dunia persilatan serta tentu saja didiskualifikasi dari kontes memperebutkan posisi mantu Majikan Benteng Hitam.

Dan tentu saja yang bertahan paling kuat sampai akhir akan menjadi pemenangnya.

Satu persatu para pendekar mulai turun laga dan menunjukkan kemampuan masing-masing. Bahkan mereka saling sesumbar dengan nada kencang disertai tenaga dalam. Berharap lawan akan ciut nyalinya untuk turun tanding.

"Ha ha ha ha Aku Sugriwa! Pertapa Sakti Gunung Galunggung. Penjagal Siluman Ular Bukittunggul. Siapa yang berani melawanku akan kukuliti dia seperti tengkorak ular ini!" seru seorang pendekar brewok dengan wajah sangar. Bajunya yang terbuat dari kulit macan semakin membuat tampilannya bertambah garang. Ia mengedarkan tangannya yang memegang tengkorak kepala ular sebesar paha orang dewasa.

Beberapa pendekar nampak ragu termakan gertakan pendekar Sugriwa. Siluman Ular terkenal sebagai salah satu demit yang paling berbahaya dan paling sulit ditaklukan. Siluman Ular tidak mudah mati dan sekali berganti kulit maka kesaktian mereka akan bertambah. Dengan kepala ular sebesar itu tidak dapat dibayangkan seberapa sakti siluman itu semasa hidup.

Namun yang ngotot untuk berlaga lebih banyak lagi. Iming-iming kekuasaan mahatinggi sebagai pewaris tahta Benteng Hitam yang legendaris serta memiliki tujuh mustika yang dimiliki Kirana telah membutakan nalar mereka.  Pendekar yang rendah ilmunya akan menyerang dengan serampangan membabi buta. Tinju dan tendangan mereka sasarkan ke orang-orang yang bisa mereka raih. Belum selesai mereka menyerang yang satu mereka kemudian berpindah ke lawan lain dengan tidak kalah buas.

Bagi pendekar dengan kemampuan lebih tinggi dan kemampuan yang lebih banyak tentu saja memilih jalan memutar dengan tidak menyerang secara langsung. Mereka akan bergulingan dan menghindari pertarungan yang tidak perlu. Selain untuk menghemat tenaga juga untuk mencari waktu yang tepat untuk menyarangkan pukulan telak mematikan.

Tiga putaran sangat cepat berlalu, sebanyak sembilan belas petarung telah tumbang, sebagian besar terlempar keluar dengan wajah babak belur tak karuan. Sebagian kecil langsung menyerah begitu mendapatkan bogem mentah.

Sugriwa masih berdiri diatas kedua kaki, namun keadaanya cukup telak babak belur. Ia berusaha memusatkan pandangannya yang mulai berkunang-kunang. Masih ada dua musuh lagi di gelanggang yang harus ia tundukkan.

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang