Kabut tebal perlahan mulai meninggalkan desa Kemukus, bersamaan dengan kereta kencana Iblis yang meluncur kencang.
Diatap kereta itu seorang nenek bermata hitam kelam duduk bersila. Tangannya bersedekap memegang tongkat berkepala tengkorak. Nyi Lampir mengeluarkan segenggam binatang kecil yang menggeliat. Terlihat puluhan ulat berwarna hijau berjalan merayap sampai di bilah telapak tangan.
Siluman itu terkekeh dan melempar binatang ganjil itu ke tanah dari atas kereta, begitu menyentuh bumi secara ajaib binatang itu berubah menjadi puluhan setan gundul yang berbadan cebol dan berkepala bulat besar. Mata mereka berwarna merah dengan cuping telinga berbentuk lancip.
"Nah budakku halangi orang yang mengejar kereta ini!" perintah Nyi Lampir.
Dalam sekejap setan itu berpencar, ada yang merayap di pepohonan, ada yang menyelinap di balik semak-semak dan berlarian di pinggir jalan layaknya anak bocah.
Puas dengan sihirnya Nyi Lampir kembali duduk dan mengetukkan tongkatnya ke atap kereta, "Aku sudah menyiapkan tempat untukmu sepeminuman teh dari sini, Prabu PatiYaksa, penguasa Gunung KarangSetra. Bertepatan dengan malam ganjil ini, sasi Wurana sudah bergulir separuh purna. Saat Lintang Mayang mulai bersinar terang di langit barat, sejajar dengan bulan dan matahari, sudah saatnya kau menyempurnakan ilmu Sembilan Kegelapan hingga tahap Nitis Sungsang. Jangan kau sia-siakan waktu Lingsir Wengi ini Cah Bagus."
Suara balasan dari dalam kereta kencana terdengar berat. "Kita tidak akan kemana-mana melainkan ke Istana KarangSetra Nyi Lampir."
Nenek itu terkejut dan berdiri dengan mata melotot. Angin malam membuat jubah robeknya berkibar layaknya hantu mengejar mangsa, "Apa katamu PatiYaksa? Aku sudah susah payah menyiapkan seratus orang dengan darah perjaka untuk ditumbalkan malam ini. Jika dilakukan di Istana Karangsetra tentu tidak akan sempat. Fajar akan terbit dan usaha kita sia-sia. Jangan kau bermain-main dengan misi kita malam ini!"
Sedari awal tujuan dari Nyi Lampir Iblis Istana KarangSetra adalah menculik Kinasih untuk dijadikan tumbal ajian Sembilan Kegelapan milik Raja KarangSetra Prabu PatiYaksa. Namun secara mendadak sang Prabu membatalkan rencana mengorbankan Kinasih secara sepihak, dan itu tidak dapat diterima mentah-mentah oleh Nyi Lampir. Ia telah menculik korban manusia untuk tumbal selama berbulan-bulan. Selain itu panglima demit Banaspati yang telah ia kerahkan harus musnah lebih dari separuh. Semua mampus di tangan para pendekar Akhirat.
"Aku tidak sedang bercanda Nyi Lampir. Aku tidak ingin gadis ini sirna dari muka bumi, tentu alam jagad raya akan bersedih bila harus kehilangan wanita secantik Kinasih." sambung suara itu dingin.
Nyi Lampir tertawa panjang, nadanya menjadi getir. "Dia tidak akan sirna PatiYaksa, justru sebaliknya tubuh gadis ini akan menjadi abadi dengan menjadi wadah sukmamu. Tidak akan menua, tidak rusak digempur walau hujan batu sekalipun!, kalian akan bersatu, dalam satu tubuh satu jiwa hingga kiamat!"
"Aku tahu, justru dengan aku melakukan itu maka sukmaku akan menelan sukma Kinasih, dan dia akan lenyap selamanya. Untuk apa mendapat tubuh tanpa jiwa? Tidak lebih seperti mainan boneka kayu belaka." balas PatiYaksa dari balik kereta.
Seberapapun banyak Nyi Lampir membujuk PatiYaksa, Pemilik KarangSetra itu tetap bergeming. Gadis itu tidak akan ditumbalkan, entah apa yang akan direncanakan selanjutnya. Alih-alih berhasil membujuk justru malah membuat Nyi Lampir jengkel bukan main. Ia memang sempat melihat di balik mata Kinasih yang hitam tersirat warna kehijauan yang dalam ketika tersorot cahaya.
Nenek itu mencoba mengingat sesuatu. Rumor dahulu kala mengatakan wanita yang bermata hijau mampu mengikat sukma seorang demit pilihan. Namun sekalipun kabar itu benar ia tidak menyangka bila bahkan sang prabu KarangSetra bisa dibuat berubah sifat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetra
ParanormalPerjalanan Candini dan Larantuka dalam mencari Penawar Racun Tujuh Langkah kembali dikisahkan, dalam empat puluh dua hari tersisa hingga racun merengggut nyawa Candini, mampukah mereka mengatasi segala marabahaya yang menghadang?