Bab 16 Mahawira

361 46 6
                                    


Bonggol kayu roboh menjadi saksi, betapa prana sosok bertudung hitam yang berdiri di atasnya tengah meluap-luap. Terlihat dari tanah yang berderak-derak dan pokok kayu yang mengeluarkan asap walaupun belum terlihat secercah lidah api. Saat tudung itu dibuka oleh sang Empunya, seraut wajah pemuda  berpostur sedang, belum sampai umur tigapuluhan nampak berkilauan seperti giok terkena cahaya rembulan. Menandakan ilmunya sudah ada dititik taraf yang sempurna dan sukar dicari bandingannya.

Ditelinga kirinya terpasang tiga anting berwarna hitam, nampak kontras dengan rambutnya yang berwarna coklat kemerahan. Matanya berwarna coklat, dipadu dengan alis bersudut tajam menampilkan tatapan mata elang yang gagah. Namun bibir pemuda ini terangkat sedikit, menyunggingkan ejekan untuk lawannya. Pemuda itu berkacak pinggang, memperlihatkan lengan berotot dan penuh bekas codetan luka. Lingkaran baja kehitaman melekat pada lengan berotot tersebut.

Ejekan ini bukan tidak beralasan, karena Ia tidak percaya di atas bumi masih ada manusia sepantarannya yang mampu mengimbangi beberapa serangan hanya dengan sebelah tangan. Pendekar dengan kemampuan tersebut sudah pasti memasuki tahap Pertapa bagian menengah, seharusnya rambut dan kulitnya sudah penuh uban dan keriput. Sangat dimungkinkan bila pemuda yang berdiri didepannya adalah jelmaan dari kaum demit yang berusia ribuan tahun.

Larantuka segera membungkuk sedikit dengan sebelah tangan didada untuk menghormati sosok pendekar yang berdiri menghadang. Hal itu biasanya manjur untuk meredam amarah seseorang. Sementara kaum iblis tidak akan bertingkah laku sepertinya.

"Salam kenal bagi sesama pendekar penegak kadilan, nama hamba Larantuka. Sedang dalam pengejaran kaum dedemit di dalam kereta tadi. Harap Kisanak sudi memberi jalan kepada hamba." ujar Larantuka merendah, berharap langkahnya dipermudah untuk segera mengejar kereta maut tersebut.

Namun pemuda itu malah duduk berjongkok diatas batang pohon seakan-akan ingin tetap menghadang. Tenaga prananya perlahan ditarik kembali  kedalam titik pusar, namun ia tetap siaga akan setiap serangan mendadak, pengalaman hidup menuntunnya untuk terus bersiaga. Sorot mata lelaki itu  menghunus tajam ke Larantuka, mengamati dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seperti elang yang mengincar mangsa.

Kalangan pendekar terbagi dua, putih dan hitam. Kebanyakan mereka bepenampilan sesuai alirannya. Kalangan putih terbiasa memakai pakaian berwarna terang dan terlihat terhormat sedangkan kalangan hitam berpakaian hitam menyeramkan dan kurang terawat. Aliran hitam terbiasa memakai bahan sisa dari lawan seperti gigi, tengkorak, tulang sebagai cinderamata. Sekedar untuk menakuti lawan ataupun bukti akan pembantaian iblis atau manusia yang sudah ditaklukan. Sedangkan sosok yang berdiri dihadapannya tak lebih seperti gembel, dengan jubah lusuh dan robek diujungnya. Namun yang menjadi pertanyaan apa mungkin pengemis bisa memiliki kelihaian setinggi langit?

"Jangan bercanda, kau pikir tampilan menyedihkan macam itu bisa menipu penglihatanku? Kau adalah iblis yang sedang menyaru sebagai pengemis, dan kereta tadi adalah kendaraanmu untuk menyebar teror!" tuduh pemuda itu. "Asal kau tahu, aku Mahawira  dari tiga pendekar akhirat, tidak akan membiarkan langkahmu bergeser walau satu jengkal!" ujarnya mantap.

Dalam hati ia begitu penasaran ingin mencicipi kelihaian lawan. Darah mudanya bergolak, haus akan pertarungan untuk menentukan siapa yang terkuat.

Walaupun tuduhan tersebut mengada-ada tetapi meluncur dari lisan Mahawira, anggota dari tiga pendekar akhirat yang paling berbahaya. Ditakuti banyak kalangan baik pendekar maupun demit karena tingkat kesaktiannya yang tinggi. Mau tidak mau Larantuka harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk.

"Sekarang apa mau Kisanak?" tanya Larantuka. Kereta kencana sudah menghilang dari pandangan, aura iblis semakin lemah untuk terdeteksi. Suasana hutan sudah kembali seperti semula dengan suara serangga malam terdengar.

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang