Bab 24 Dua Permintaan

342 35 12
                                    

Tidak, pasti ada sesuatu mengerikan yang dia inginkan. Tidak ada yang boleh mengaturku.

"Lepas!" teriak Gadis bermata jeli itu seraya mengibaskan tangannya untuk membebaskan cekalan Larantuka. Segera Kirana memeriksa pergelangan yang berbekas karena digigit Sancaka. Ternyata masih ada sedikit noda kehitaman disana. Tanda ada sedikit racun,  tampaknya ia memerlukan pengobatan tambahan di markas Benteng Hitam.

Larantuka mendelik, asap putih tipis perlahan keluar dari balik punggungnya, "Pengobatan belum selesai, kemarilah!"

Sejenak Kirana menjadi ragu, mau kembali ke rumah atau menuruti perintah orang asing. Tapi ia adalah ketua sekte Benteng Hitam yang dihormati. Memiliki banyak anak buah, Tujuh Puluh Dua pendekar penjaga gerbang, Tiga Kepala Cabang Senjata, dan Seribu Limaratus Pandai Besi Emas yang terkenal di seantero Tanah Jawi. Egonya menjerit untuk tidak bisa begitu saja mematuhi seseorang apalagi yang tidak memiliki nama di dunia persilatan. Namun disisi lain Racun ular jadi jadian itu memang sungguh menyeramkan, bahkan pil mustika maha ampuh racikan para tetua Benteng Hitam yang ia bawa tidak berefek sama sekali.

Entah bagaimana, tangan Larantuka tiba-tiba sudah mencekal kembali tangan Kirana yang terdiam. Gadis itu hampir terlonjak karena kaget akibat kelihaian silat lawan. Secepat kilat Ia berkelit memuntir tangan ke arah dalam badan Lawan dengan jurus Mengukir Matahari, jurus ini tak bisa dipandang remeh, semua jurus kuncian pasti bisa lepas dengan mudah  namun genggaman tangan Larantuka malah berbalik semakin erat dan tidak dapat lepas.

"Kemari!"

Kali ini tenaga Larantuka tidaklah selemah saat pertama  terjatuh tadi, membuat Kirana jatuh terduduk kembali di hadapan pendekar kita. Ia terkesiap akan tenaga dalam Larantuka yang besar. Tanpa dikomando, Larantuka menempelkan bibirnya di luka gigitan Sancaka. Ia menyesap perlahan cairan merah yang mengandung racun ular jadi-jadian itu.

"Akh!"

Pergelangan tagan Kirana seperti teraliri setrum, apalagi saat deru napas Larantuka yang hangat menyentuh perlahan di permukaan kulitnya.

"Racun ini sangat jahat, ia hanya bisa habis tanpa sisa  bila ada orang lain yang menjadi korban. Dan aku sudah terbiasa digigit ular ini." bisik pria itu.

"Kau... berani memaksaku melakukan ini, jahanam, terkutuk! tidak pernah ada yang berani memandangku apalagi menyentuh kulitku. Kau...!" ujar Kirana terhenti tak bisa berkata apa lagi. Baru kali ini ia disentuh lelaki, jika orang biasa mungkin sudah habis ia cincang.

"Mau apa?" tanya Larantuka sembari menatap tajam dengan mata yang luar biasa mempesona. Bibirnya masih menempel di pergelangan Kirana untuk memastikan tak ada racun tersisa. Gadis itu merasakan ada sesuatu yang hangat membara, tidak di pergelangan namun anehnya malah terasa di dada sendiri, menyebar dari dalam hingga sekujur tubuh. Apakah racun sudah mengalir sampai ke jantung? Kenapa tidak sakit menusuk seperti tadi, Kenapa benda ini berdebar sangat kencang?

Tetapi...

Kirana semakin membeku, hatinya bertambah galau akibat tindakan Larantuka. Pada akhirnya hanya cacian pedas sumpah serapah yang keluar dari bibirnya, karena ia tumbuh sudah terbiasa memaki punggawa dan pengawalnya.

Namun Larantuka tidak peduli, ia sudah biasa dicaci maki seperti pengemis atau orang terhina di dunia bahkan dengan umpatan nama hewan sekalipun.

Kirana balas menjawab dengan nada bergetar dan tatapan sedingin es, "Kau.. berani menginjakkan kaki ke Benteng Hitam, akan kucincang habis badanmu tujuh belas kali. Akan kubuang remahan dagingmu ke laut agar dimakan ikan sampai tak bersisa!" hardik gadis itu. "Sampai mati pun akan kuingat hinaan ini, jangan panggil aku Kirana jika kau tidak mati mengenaskan!"

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang