Bab 29 Menentang Takdir

337 25 1
                                    


Suasana sunyi di penjara bawah tanah terasa menghantui siapapun yang melintas. Tidak ada orang yang suka berlama-lama di bawah tanah, lebih-lebih lantai paling dasar. Hanya terlihat  banyak laba-laba hitam seukuran jempol manusia, berkeliaran mencari mangsa di dinding penjara yang dingin. Namun dibalik sebuah jeruji penjara yang kosong, terdapat sebuah ruangan sederhana dengan tiga sosok penghuninya. Ruangan kecil itu diterangi dengan cahaya lampu minyak yang temaram, bergoyang-goyang tertiup angin.

 Suasana semakin suram dan mencekam terutama di sudut seorang nenek tua berwajah keriput penuh bopeng dan nanah bernama Nyi Lampir. Wanita tua itu terdiam hanya bisa menatap tajam, mengawasi segala gerak gerik Kinasih dan Prabu Pati Yaksa.

Kinasih, gadis ayu bermata hijau bukannya tak menyadari hal ini. Ia berkali kali membuang muka karena tak nyaman dipandangi lekat-lekat nenek menyeramkan itu, apabila dia adalah orang yang baru pertama melihat Nyi Lampir mungkin sudah jatuh pingsan ketakutan sedari tadi.

Gadis itu duduk bersimpuh di pangkuan pujaan hatinya, dengan tangan melingkar semakin erat di pinggang sang kekasih, seakan takut untuk berpisah. Ya, Kinasih sudah terperangkap dalam jeratan asmara sang Raja Iblis. Wanita itu tak ubahnya gurun gersang yang menantikan hujan, haus akan rasa rindu dan kasih sayang. 

"Kakang Yaksa, kapankah kita tiba di istanamu? Aku sudah tidak sabar menjadi pengantin, disunting olehmu...." pinta Kinasih.

Gadis itu telah melepas semua masa lalunya, baik itu kenangan indah maupun pahit selama di Kemukus. Semua telah ia lebur jadi satu dalam perasaan cinta yang mendalam kepada PatiYaksa.

"..."

Raja iblis Karang Setra itu terdiam sambil menutup matanya. Wajahnya yang tampan dan putih bersih tidak menyiratkan dia seorang demit. Namun bila diperhatikan dengan lebih seksama lelaki ini tidak memiliki cekung diatas bibir, dengan ujung telinga lancip dan warna kelopak mata kemerah-merahan senada dengan rona bibirnya yang tipis. Walaupun tak ada kerutan sama sekali di wajah seakan pria diawal duapuluh tahun, Raja demit itu tidak bisa diterka umurnya hanya dengan sekilas memandang.

Saat ini ia menggunakan ilmu Tapa Senyap untuk bersiaga, apabila ada pendekar yang memergoki mereka sedang bersembunyi di dalam Benteng Hitam maka ia bisa tahu lebih dahulu. Dalam mengeluarkan prana ia harus hati-hati, terlalu kecil maka ia tidak bisa mendeteksi gerakan musuh, namun jika dikeluarkan terlalu besar tentu akan mengundang para pendekar tingkat tinggi yang berindera tajam.

Jika ketahuan maka keadaan bisa menjadi gawat. Ribuan pendekar bisa mengeroyoknya dan pertempuran habis-habisan akan tumpah. Mungkin ia bisa selamat dengan mudah namun tidak dengan Kinasih. Dan rencana mereka untuk menyatu akan mengalami batu sandungan.

Nyi Lampir menyeringai, "Nampaknya kau sudah tak sabaran ingin menyatu dengan Prabu PatiYaksa Cah Ayu hik hik hik hi".

Wajah Kinasih memerah. Ia menunduk akan hinaan Nyi Lampir sambil mempererat cekalan di ujung baju Prabu PatiYaksa. Tidak, bukan itu maksud hati gadis perawan itu. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari lingkungan manusia yang membuatnya lelah bahkan ke ujung dunia bila perlu. Dan menghabiskan waktu tersisa hanya berdua.

"Saat malam menjelang, kita langsung pergi dari tempat ini menuju KarangSetra. Disana kau akan kunikahi dan menjadi Istriku untuk selamanya." bisik PatiYaksa.

Omong Kosong.

Serapah Nyi Lampir dalam hati. Mau melawan takdir? Tidak semudah itu, harus ada ritual berdarah yang wajib dilakukan!

Nenek itu lantas menggeleng-gelengkan kepala, "Jangan mimpi Prabu, bagaimanapun juga wanita ini tidak dapat bersatu begitu saja dengan Raja PatiYaksa yang berasal dari golongan demit. Dan kau Kinasih, walaupun gusti Prabu sendiri yang melindungimu, kau akan mati membusuk lebih cepat dibanding kami bangsa Demit yang abadi."

Larantuka si Pendekar Cacat Pembasmi Iblis episode : Maut Di KarangSetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang