50. DREAM

361 15 5
                                    

• Bab 50
Ku akui, meski menyebalkan tidak ada alasan untuk tidak rindu.


•••

"Gue akan merebut lo dari dia!"

Naya menggelengkan kepala, ucapan Keenan benar-benar mengusiknya. Lagipula Naya bukan milik siapa-siapa, kenapa Keenan berlagak seolah ingin mencuri Naya dari seseorang.

"Kak Naya ngelamunin apa sih, nanti kesambet loh!" Anika menegur sang kakak seraya berlalu. "Lo nggak telat apa, Kak?!"

Naya berdecak kesal. Sialan!

"Ish, kenapa lo baru bilang, sih, Nik!" protes Naya, ia bergegas mengambil tasnya yang berada di atas meja. Memasang sepatu buru-buru, bahkan mengincak bagian belakangnya begitu saja.

Naya mengeluarkan sepeda, lalu mengayuh pedal itu sekuat tenaga berharap ia bisa mengejar waktu.

Keberuntungan sepertinya tidak berpihak pada Naya. Baru seperempat perjalanan, hujan turun begitu derasnya. Gadis berseragam putih abu-abu dengan celana training itu sama sekali tidak punya persiapan, ia juga lupa membawa jas hujan. Naya pun segera menepi, menunggu hujan berhenti entah sampai kapan.

Setelah hujan reda, Naya melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Tidak tanggung-tanggung ia terlambat selama dua jam lamanya.

Bukan hanya itu, Naya bahkan diberikan hukuman untuk membersihkan aula. Aula tampak berantakan, karena sepertinya beberapa kegiatan dilaksanakan di sana saat hujan sedang turun.

"Mereka enak, sih, karena pake mobil semua nggak bakal ada yang namanya kehujanan dan nggak bakal kebasahan juga!" protes Naya bergumam sendiri, sambil menyapu dengan penuh semangat. "Coba aja ada teknologi sepeda rasa mobil, pasti bagus juga, tuh."

Naya menoleh ke belakang, saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Pupil Naya melebar, saking kagetnya.

"Kenapa kaget lo? Kayak ngelihat hantu aja."

"Nggak apa-apa," jawab Naya datar.

"Nggak ada hantu yang seganteng dan sekeren gue." Lagi-lagi ucapan narsis itu terkesan menggelitik bagi Naya. "Lo ada lihat kemeja putih nggak di sini?"

Naya memalingkan tubuh, lalu menunjuk ke arah kanan tubuhnya.

"Itu anak kenapa ada sini!" batin Naya kesal.

"Oh, iya, thanks."

Setelah mengambil seragam putih yang tertinggal itu. Naya langsung duduk dengan cepat, sambil memegangi dadanya.

"Gimana sih, cara menghindari tuh Sapi, sih?!"

•••

Mendengar cerita Naya, Kei tertawa terbahak-bahak. Ia merasa lucu sekaligus iba dengan cerita dibalik keterlambatan sahabatnya itu.

"Harusnya lo bilang sama gue, biar gue suruh Kak Gibran jemput lo." Kei menopang dagunya dengan tangan kanan.

"Nggak usah, Kei." Naya menggeleng sambil tertawa kecil.

"Ya, nggak apa-apa. Kak Gibran itu gabutan anaknya. Kalau lo butuh bantuan atau apa, bilang sama Kak Gibran aja. Lo ingat, kan, apa kata dia waktu itu." Kei memberitahukan.

"Iya, gue ingat kok Kei."

"Jadi, jangan sungkan. Anggap aja, Kak Gibran itu kakak lo juga." Kei memeluk singkat tubuh Naya. Ia sangat beruntung memiliki sahabat seperti Naya.

Suara hentakan meja terdengar. Ivona dan Lila menoleh kompak pada Naya dan Kei.

"Lo berdua berisik, mending tutup mulut lo!" tegur Ivona. Semenjak dapat peringatan dari Embun, Ivona jadi tidak bisa bertindak apa-apa pada dua gadis menyebalkan di kelasnya itu.

PANGERAN PERMEN KARETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang