CHAPTER 6 | BERTEMAN

1.3K 74 2
                                    

Budayakan vote sebelum membaca. Jangan jadi silent reader yaaa!
(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

•••

Deringan jam alarm yang nyaring tak mampu mengalahkan aroma menggoda nasi goreng yang tumpah ruah dari penggorengan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deringan jam alarm yang nyaring tak mampu mengalahkan aroma menggoda nasi goreng yang tumpah ruah dari penggorengan. Dewangga, dengan seragam sekolah yang rapi, cekatan mengaduk nasi sisa semalam, mewarnai pagi hari dengan semburat jingga api.

Di atas meja makan berbentuk lingkaran, Dewangga menata sepiring nasi goreng, ditemani telur dadar dan kerupuk udang yang renyah. Uap panas masih mengepul, menggoda selera. "Bismillah," gumam Dewangga sebelum menyuapkan sesendok nasi goreng. Rasanya? Hmm, lezat!

Tapi, di balik kelezatan itu, tersimpan rasa rindu yang mendalam. Nasi goreng buatannya memang enak, namun tak sebanding dengan nasi goreng spesial buatan Bunda—Iris Puteri. Bumbu rahasia cinta dan kasih sayang yang Bunda tuangkan dalam setiap bulir nasi, menghadirkan kenangan indah yang tak terlupakan.

"Nasi gorengnya sudah siap!"

Iris, wanita berusia 30 tahun itu menyiapkan empat piring nasi goreng untuk keluarga kecilnya. Dengan senyuman tulus yang memancar, Iris dengan telaten melayani suami dan dua putranya.

"Jangan lupa berdoa ya, anak-anak!" Iris menasihati.

"Iya, Bunda," jawab dua bocah kecil kompak.

"Ayah yang pimpin doa makan."

Surya mengajarkan dua putranya yang masih TK untuk mengangkat kedua tangan. Pelan-pelan, ia menyenandungkan doa sebelum makan diikuti dua bocah yang masih cadel.

"Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma... bariklana... fimma... razaqtana ... waqina adza bannar... Aamiin."

"Selamat makan, Ayah, Bunda, Adik."

"Selamat makan juga, Sayang," balas Surya dan Iris bersama.

"Selamat makan, Abang," balas Airlangga.

Dewangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling meja makan. Matanya memanas, perih dihinggapi kenangan hangat masa kecilnya di tempat yang sama. Dulu, meja ini selalu ramai oleh tawa dan canda Surya, Iris, dan Airlangga. Surya, sang ayah yang gagah, selalu siap mengantarkan Dewangga dan Airlangga ke sekolah sebelum berangkat bekerja. Iris, sang ibu yang penuh kasih, selalu menyambut mereka dengan senyuman dan hidangan lezat. Di masa itu, Dewangga bisa bermain sepuasnya bersama Airlangga tanpa beban, tanpa tahu bahwa kenyataan pahit akan segera memisahkan mereka.

Bibir Dewangga bergetar hebat. Nasi di mulutnya terasa hambar, bagaikan kenangan indah yang kini terasa pahit. Dadanya sesak, dihimpit rasa sakit yang tak terkira. Bagaimana mungkin kebahagiaan itu direnggut begitu cepat? Dewangga masih berusia lima tahun saat pertengkaran orang tuanya berakhir membawa Iris dan Airlangga pergi dari rumah.

FLEUR ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang