CHAPTER 14 | HIGH HEELS MERAH

865 54 5
                                    

Budayakan vote sebelum membaca. Jangan jadi silent reader yaaa! (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

•••

Deru mesin bus kota bagaikan alunan musik malam, mengiringi langkah Dewangga yang menaiki tangga bus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deru mesin bus kota bagaikan alunan musik malam, mengiringi langkah Dewangga yang menaiki tangga bus. Malam itu, ia memilih meniti jalanan Jakarta Selatan dengan bus kota, memberikan istirahat sejenak pada sepeda hitam kesayangannya.

Di dalam bus, Dewangga menemukan tempat duduk kosong dan segera mendudukinya. Di pangkuannya, ia membawa paper bag berisi rantang makan dan piala juara 1 Olimpiade Sains tingkat Kota bidang Geografi. Hadiah istimewa ini akan ia persembahkan kepada Surya, sang Ayah. Dewangga yakin, wajah Surya akan berbinar bahagia melihat pencapaiannya.

Jendela bus di samping Dewangga terbuka sedikit, membiarkan angin malam yang sejuk membelai wajahnya. Ia memejamkan mata, menghirup aroma malam sedalam-dalamnya. Rasanya, segala penat di dadanya perlahan sirna, tergantikan ketenangan yang menyejukkan.

Perjalanan dengan bus terasa singkat. Setibanya di halte, Dewangga masih harus melangkah kaki sejauh 500 meter untuk mencapai apartemen Surya. Di sanalah sang Ayah tercinta tinggal, memilih apartemen karena jaraknya yang lebih dekat dengan kantor dibandingkan rumah.

Dulu, apartemen ini menjadi tempat favorit Dewangga untuk menghabiskan waktu bersama Surya. Mereka sering menginap bersama, berbagi cerita dan tawa. Namun, sejak Dewangga memasuki masa SMA, Surya semakin sering lembur dan terpaksa meninggalkan Dewangga sendirian di rumah. Hanya sesekali, ketika tidak ada lemburan, Surya akan pulang ke rumah. Keesokan harinya, ia berangkat pagi-pagi sekali untuk kembali bekerja.

Langkah kaki Dewangga membawanya ke lantai sembilan. Di lift, ia bertemu dengan seorang Ibu muda dan dua anaknya. Salah satu anak perempuannya, yang masih balita, menatap Dewangga dengan kagum. "Hai, Ganteng!" serunya polos.

Sang Ibu muda tersentak mendengar perkataan putrinya. "Maaf, Mas," ujarnya dengan nada panik. "Anak saya masih kecil, belum mengerti tata krama."

"Tidak apa-apa, Bu," Dewangga membalas dengan senyuman hangat. "Anak kecil memang selalu jujur."

Jawaban Dewangga justru membuat Ibu muda itu semakin salah tingkah. Tawa pun pecah di ruang lift yang sempit itu, mencairkan suasana yang sempat canggung. Dewangga menunjukkan sisi ramah dan humorisnya, membuat Ibu muda itu merasa lebih nyaman.

Saat lift berhenti di lantai enam, mereka pun berpisah. Dewangga sempat mengedipkan mata genit ke arah sang balita yang menggodanya tadi. Jangan khawatir, hanya candaan kecil! Dewangga tak berniat macam-macam.

Dewangga melangkah dengan penuh semangat menuju kamar 909, apartemen sang Ayah di lantai sembilan. Jari-jarinya lincah menari di keypad pintu, memasukkan tanggal lahirnya sebagai password. Klik! Pintu terbuka, aroma lavender yang menenangkan menyambutnya. Wangi favorit Surya dan dirinya, selalu membawa rasa damai di hati Dewangga.

FLEUR ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang