CHAPTER 47 | DEWANGGA DAN AIRLANGGA

563 56 5
                                    

Budayakan vote sebelum membaca. Jangan jadi silent reader yaaa!
(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

•••

Dua belas tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua belas tahun yang lalu

Setitik sinar mentari masuk dari celah gorden pada sebuah kamar tidur berukuran 4×4 meter. Bias cahayanya menyilaukan sepasang mata anak kecil yang terpejam, mengusik bocah lima tahun itu dari tidur nyenyaknya. Samar-samar suara gaduh menariknya ke alam sadar, Dewangga terbangun dari tidur panjangnya.

Anak kecil itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi, artinya hari ini ia bangun kesiangan. Tak berpikir lama, ia segera membangunkan seseorang yang masih bergelut dengan selimut.

"Adek, bangun! Kita kesiangan." Dewangga menggoyangkan badan anak kecil seusianya.

"Lagian kenapa Bunda nggak bangunin kita sih," gerutunya kecil.

Dewangga kembali naik ke atas kasur dan mencoba membangunkan adiknya kembali. "Adek, ayo bangun. Udah jam enam nih!"

"Nanti aja, Abang!" jawab anak kecil itu seraya menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.

Dewangga kecil tak kehabisan cara. Ia segera ikut tenggelam dibalik selimut dan menggelitiki adik kembarnya secara brutal.

"Abang, geli! Udah, udah."

"Adek bangun sekarang nggak?"

"Iya iya, ini adek bangun." Airlangga mendudukkan diri dengan mata terpejam.

"Bunda, mana?" tanyanya pada Sang Kakak.

"Kayanya lagi masak. Hari ini kita mandi sendiri yuk! Biar nggak ngerepotin Bunda lagi."

Dewangga menggandeng tangan Airlangga yang masih terkantuk-kantuk menuju kamar mandi di lantai bawah. Namun betapa terkejutnya ia ketika hendak menuju dapur yang letaknya dekat dengan kamar mandi. Sebuah piring terbang dan menghantam dinding, pecah seketika.

Dua anak kecil yang tidak tahu apa-apa itu segera bersembunyi di bawah meja TV ruang keluarga. Mereka berdua saling berpelukan meskipun ketakutan setengah mati melihat Ayah dan Bundanya bertengkar hebat.

"A-bang. I-tu ta-di a-pa?" Airlangga gemetaran, memeluk erat tubuh kakaknya yang lahir sepuluh menit lebih dulu.

"Adek, tenang ya. Kita sembunyi di sini dulu biar aman."

Dewangga berusaha menenangkan sang adik meskipun anak kecil itu juga ketakutan. Ia menahan diri agar tidak menangis ketika mendengar suara Bunda memaki Ayah dengan nada tinggi.

"SUAMI MACAM APA YANG PULANG PAGI BEGINI SAMBIL MABUK? TEGA KAMU NINGGALIN AKU DI RUMAH SENDIRIAN SAMA SI KEMBAR!"

Iris menunjuk-nunjuk suaminya dengan tatapan nyalang. Kesabarannya telah mencapai batas hari ini.

FLEUR ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang