LENGKAP - Fleur diambil dari bahasa Perancis yang berarti Bunga.
•••
Restu Dewangga Putera, anak laki-laki berusia 16 tahun. Setiap ulang tahun Dewa selalu memanjatkan doa yang sama, "kebahagiaan". Sebab hidupnya telah bernafaskan keterlukaan sejak...
Budayakan vote sebelum membaca. Jangan jadi silent reader yaaa! ( ◜‿◝ )♡
•••
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Assalamualaikum, Emak. Daisy pulang!" seru Daisy dengan ceria, bergegas memasuki toko kecil yang remang-remang.
Yunita, sang Ibu, menoleh dari tumpukan baju yang ia setrika. Wajahnya yang lelah seketika dihiasi senyum hangat. "Waalaikumussalam, Sayang. Adikmu mana?"
"Belum pulang, Mak. Daisy dianter sama teman sebangku, mau belajar bareng."
"Mana anaknya? Suruh masuk sini!"
Daisy berlari keluar, menghampiri Dewangga yang masih berdiri di depan toko dengan sepedanya. "Dewa, yuk masuk!" ajaknya.
Dewangga melangkah ragu, kakinya menginjak ubin lantai yang dingin. Aroma deterjen dan parfum laundry yang semerbak menusuk hidungnya, mengingatkannya pada jaket yang ia kenakan saat ini. Sepertinya Daisy mencuci jaketnya di laundry milik keluarganya.
Pintu toko terbuka lebar, dan Yunita menyambut mereka dengan senyuman ramah. "MasyaAllah, ganteng banget kamu, Nak! Temennya Daisy ya?"
Dewangga menjabat tangan wanita itu dengan canggung. "Saya Dewa, Tante. Teman sebangku Daisy."
"Lho, Dis? Kok Emak nggak pernah dengar kamu cerita soal teman sebangkumu yang ganteng ini?" Yunita menoleh ke arah Daisy, heran.
Daisy tersipu malu. "Emak kan nggak pernah tanya."
Yunita tersadar. Benar saja, ia jarang sekali bertanya tentang kehidupan Daisy di sekolah. Ia hanya tahu bahwa putrinya itu murid berprestasi di SMA Galaksi, kebanggaannya.
"Duduk dulu, Nak! Biar dibuatin minum sama Daisy," kata Yunita, menggeser tumpukan baju di kursi.
"Ah, nggak papa. Sekalian belajar sama Daisy," Yunita tak ingin Dewangga merasa canggung, "Dis, ganti baju dan buatin minum buat Dewa ya!"
"Iya, Mak. Dewa, gue tinggal sebentar ya."
Dewangga duduk di kursi atom merah, mengamati sekeliling toko yang sederhana. Rak-rak kayu berjejer rapi, penuh dengan plastik berisi pakaian bersih. Di sudut ruangan, tumpukan baju kering menanti untuk disetrika. Aroma parfum yang menenangkan tercium dari etalase kaca.
Matanya tertuju pada langit-langit ruangan. Lampu pijar redup menerangi ruangan, dan beberapa kawat jemuran menggantung di atasnya.
"Maaf ya, Nak, tokonya berantakan. Emak belum sempat rapikan," kata Yunita, merasa tidak enak.
Yunita terharu mendengar pujian Dewangga. Ia yakin, remaja di depannya ini berasal dari keluarga kaya. Mungkin baginya, toko laundry sekecil ini terasa asing dan tidak nyaman.