CHAPTER 27 | AIR, HUJAN, DAN SUNGAI

891 63 12
                                    

Budayakan vote sebelum membaca. Jangan jadi silent reader yaaa!
(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

•••

Dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dingin. Kamar utama di sebuah apartemen elite kawasan Jakarta Selatan itu terasa dingin. Pria dewasa berusia 40 tahun itu terbangun dari tidur nyenyaknya. Pemandangan pertama ketika ia membuka mata adalah wajah menenangkan seorang wanita yang lima tahun terakhir ini mengisi ruang hampa di hatinya. Surya tersenyum tipis, lantas mengelus pelan pipi Monica yang tengah tertidur tenang. Tampaknya wanita 37 tahun itu cukup kelelahan.

Surya segera bangkit dari kasur, mengambil kemejanya yang tercecer di lantai dan memakainya dengan asal. Netranya melirik jam dinding yang kini menunjukkan pukul 10.17 malam. Ayah dari dua orang anak itu menyadari satu hal, pintu kamarnya terbuka setengah. Padahal seingatnya ketika ia habis makan malam dan minum bersama Monica, pintu itu ia tutup rapat-rapat.

"Shit. Siapa yang berani membuka ruang pribadiku!"

Pria itu bergegas keluar kamar. Namun, tanpa sengaja kaki kanannya menginjak sesuatu, Surya segera memungutnya. Sebuah medali emas bertuliskan Olimpiade Sains Nasional. Detik itu juga jantung Surya seakan berhenti berdetak.

"D–dewa ke sini?" tanyanya pada angin lalu.

Surya menyusuri ruang demi ruang di apartemen itu, tetapi tak kunjung menemukan keberadaan Sang Putra. Hanya sebuah medali yang kini ia genggam, serta tas ransel dan koper yang berada di ruang tengah. Artinya Dewangga sempat berkunjung ke apartemen.

Tanpa bisa dielakkan, Dewangga pasti sudah mengetahui perbuatannya malam ini. Belum sempat hubungannya membaik dengan anak itu, kini Dewangga sudah tahu lebih jauh apa yang ia sembunyikan selama ini.

"Dewa, maafkan Ayah," sesalnya.

Ia mengusap kasar wajahnya, jelas terlihat penyesalan dan rasa bersalah pada putra yang sangat ia sayangi.

Tanpa pikir panjang Surya meraih ponsel yang ia charge di dekat televisi. Berusaha menghubungi Sang Anak.

"Tolong angkat, Dewa! Ayah minta maaf."

Tut Tut Tut.

Tiga kali panggilannya tak terjawab.

Surya sadar betul bahwa kali ini Dewangga tak akan memberikannya kesempatan untuk meminta maaf. Dari pertama kali ia mengenalkan Monica, Dewangga sudah tidak menyukai kekasihnya itu. Apalagi melihat perilakunya malam ini, mungkin anaknya itu sudah tak menganggapnya lagi sebagai seorang Ayah.

"Dewa, angkatlah, Nak!" racaunya.

•••

Langit telah menghentikan tangisannya, menyisakan genangan-genangan basah di ruang bumi. Seorang remaja laki-laki berdiri mematung di sebuah jalanan sepi. Entah sudah seberapa jauh kakinya berlari, hingga kini ia merasa lelah dan memilih berhenti.

FLEUR ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang