Katanya, jika kita berhasil membuat 1000 burung kertas, satu keinginan kita akan terwujud. Namun, apakah hal itu juga berlaku untuk Jendra?
Jendra hanya memiliki satu permohonan kepada Tuhan: ia ingin diberi kesempatan kedua untuk membahagiakan Naya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mbak Ning datang dari dapur membawa beberapa cemilan yang dia bawa dari rumah. Cemilan yang Mbak Ning buat sewaktu di rumah dan mengurus ibunya yang baru sembuh dari sakit.
Mbak Ning menaruh piring berisi makanan itu di atas meja ruang tengah, di mana saat ini seluruh penghuni rumah sedang berkumpul di sana.
Gara terlihat sedang membantu si bungsu mengerjakan tugas sekolahnya. Sedangkan Naya sedang asyik menonton salah satu drama Korea yang beberapa kali seliweran di beranda sosial medianya. Naya sungguh penasaran dengan drama tersebut, pasalnya beberapa spoiler yang menceritakan isi dari drama itu cukup membuatnya tertarik untuk menonton. Naya sudah dalam posisi pw-nya seraya memangku MacBook miliknya—menatap layar lebar itu dengan fokus.
Naya yang menyadari kehadiran Mbak Ning pun segera menghentikan tontonannya sejenak.
"Mba Ning bawa apa?" tanya Naya saat melihat beberapa makanan yang Naya yakini pasti buatan Mbak Ning—art di rumahnya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun itu. Terhitung sejak Mbak Ning masih berumur dua puluh satu tahun.
Mbak Ning tahu betul apa yang telah keluarga Huang lalui. Terutama kisah kelam yang mungkin masih membekas jelas di ingatan semua anak-anak majikannya, termasuk majikannya sendiri. Karena hal itu juga yang menjadi alasan utama mengapa Mbak Ning masih betah untuk mengabdikan dirinya bekerja di rumah ini. Selain memang membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup dan biaya perawatan sang ibu, alasan lainnya adalah karena semua anak-anak pak Huang Hutama sangatlah baik padanya. Terkadang Dewa ataupun pak Huang selalu memberinya gaji lebih.
Mbak Ning tersenyum tipis seraya menjawab, "Mbak Ning bawa kue lapis legit sama kue kering kesukaan Naya."
Gara dan Kara yang sedari tadi fokus menghitung angka-angka dan cukup bikin pusing kepala pun kini mengalihkan perhatiannya, menatap kue-kue yang membuatnya seketika jadi 'lapar mata'. Wangi kue itu begitu semerbak.
Naya mencomot satu kue kering yang berbentuk setengah lingkaran bak bulan sabit dengan taburan gula halus di atasnya. "Enak banget Mbak Ning," puji Naya sungguh-sungguh. Ia mengambil lagi dan langsung memakannya.
Mbak Ning terkekeh pelan melihat bagaimana ekspresi yang Naya yang tunjukkan saat memakan kue salju buatannya. "Iya dong, kan Mbak Ning yang bikin," kata Mbak Ning sambil tertawa kecil.
"Mbak gak ada niatan buat buka toko kue?" Pertanyaan spontan dari Gara membuat Mbak Ning terdiam sejenak. Mbak Ning duduk di atas permadani tebal sambil memangku nampannya.
"Belum kepikiran Mas Gara. Modal buat buka toko kue juga gak sedikit," jawab Mbak Ning tersenyum.
Semua keluarga Huang baik bapak maupun anak-anaknya sangatlah dekat dengan Mbak Ning. Itu lah kenapa Mbak Ning tidak merasa canggung jika berada di antara anak-anak pak Hutama. Bahkan mereka semua sudah menganggap Mbak Ning sebagai anggota keluarganya.
"Kalo Mbak Ning mau, Kak Dewa pasti bakal bantu buat modalin Mbak Ning," tutur Gara sambil memasukkan satu potong kue lapis legit ke dalam mulutnya. Entah potongan kue ke berapa yang sudah masuk ke dalam perutnya. Gara sampai tidak sadar saking enaknya kue buatan Mbak Ning itu.