39. Permintaan Maaf Yang Tulus

54 4 0
                                    

Haiiiiii, apa kabar? Semoga selalu baik dan bahagia, ya!❤️

Maaf ... banget aku baru bisa update setelah sekian lama, hampir sebulan kayaknya hehe. Maafin, yaaa💐💐

Semoga kalian suka sama part ini❤️

Selamat membaca, semoga suka🌹🌹

Setelah menyelesaikan ritual paginya, Naya membawa kaki telanjangnya menuruni anak tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah menyelesaikan ritual paginya, Naya membawa kaki telanjangnya menuruni anak tangga. Ia berniat untuk sarapan guna sedikit mengganjal perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.

Padahal hari ini Naya berniat bangun lebih siang dari hari-hari biasa. Tetapi karena perutnya yang terus berbunyi membuat putri semata wayang keluarga Huang itupun harus mengubah rencana awalnya.

Saat berada di ujung tangga, mata Naya langsung menangkap sosok si bungsu yang terlihat sedang asyik mengunyah roti bakar. Naya yakin itu pasti buatan mbak Ning.

Naya lantas melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Kehadiran dirinya sama sekali tak membuat fokus Kara terganggu. Remaja laki-laki itu hanya melempar lirikan sekilas sebelum kembali menyantap rotinya.

Naya membuka kulkas dan meraih botol berisi minuman jeruk. Ia kemudian menuangkan jus itu ke dalam gelas yang dia ambil dari rak lalu meletakkannya kembali ke tempat semula.

Naya menghampiri Kara dan mengambil duduk di depannya. Ia melirik ke arah Kara dengan ujung ekor matanya. Si bungsu terlihat begitu anteng seolah keberadaan Naya hanya seperti angin lalu saja. Naya semakin dibuat heran oleh adiknya saat sorot mata itu memandang kosong lantai yang ada di depannya.

"Kara, jangan melamun," tegur Naya, melambaikan tangannya di depan wajah Kara.

Kara tersentak, ia melirik singkat. Kara lalu meletakkan roti itu ke atas piring. Dirinya sudah tidak napsu untuk menghabiskannya. Dengan gerakan pelan Kara mendorong piring tersebut sedikit jauh darinya.

"Kak, Kara mau tanya." Kara menyangga dagunya dengan satu tangan. Matanya menatap sang kakak yang sedang mengolesi roti dengan selai kacang.

"Nanya apa?" Naya menyahut tanpa membalas tatapan itu.

"Tapi jangan bilang-bilang ke kak Dewa maupun kak Gara, ya," pinta Kara sungguh-sungguh.

Naya mengangkat wajahnya, memicingkan mata menatap Kara. "Kenapa memangnya?" tanya Naya penasaran. Memangnya kenapa kalau mereka tahu?

"Ya ... jangan aja. Mereka gak boleh tau, cukup kita berdua aja."

Naya manggut-manggut setuju. "Oke, tapi ada apa?"

Kara mengedarkan pandangannya, berharap kedua kakaknya tidak ada di sana. Remaja itu kemudian menatap mata Naya dengan sorot serius.

"Kakak ..., kangen mama nggak?" Sebenarnya Kara sedikit ragu untuk menanyakan ini pada kakak perempuannya. Namun, Kara juga penasaran. Sudah lama ia menahan diri untuk tidak menanyakan hal sensitif pada Naya maupun Dewa. Terutama perihal mama.

Burung Kertas untuk NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang