27. Hiraeth

92 26 1
                                    

Hai hai chingu! Aku update lagi, nih. Bantu koreksi typo, ya😊

Selamat membaca, semoga suka🌹❤️

Selamat membaca, semoga suka🌹❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Assalamualaikum, Kara pulang ...," salam Kara seraya membuka pintu rumah lebar-lebar. Ia menenteng sepasang sepatu miliknya sambil melangkah memasuki rumah yang terlihat sepi siang itu.

Kara menghela napas pendek, ia sudah terbiasa dengan suasana rumah yang sepi tiap kali dirinya pulang sekolah seperti ini. Kara rindu masa-masa ketika ia pulang pasti ada mama yang selalu menyambutnya di balik pintu dengan seulas senyuman manis yang terukir di wajahnya. Kara rindu pelukan hangat mama yang dulu hampir setiap hari ia rasakan. Kara rindu suasana rumah yang ramai seperti dulu. Ia rindu semua kenangan yang pernah tercipta di rumah ini.

Remaja laki-laki itu menyeret kakinya menaiki tangga menuju kamar. Dengan langkah gontai ia melewati ruang tamu dan ruang tengah yang sepi. Kara sempat melirik sekilas ke arah kamar orang tuanya dulu. Pintu kamar yang selalu terkunci dan hanya dibuka saat ingin dibersihkan saja. Seketika bayangan tentang masa lalunya terlintas lagi di kepala Kara. Memori-memori indah itu masih terekam jelas di pikirannya.

Kara meletakkan sepatu dan tasnya sembarangan, lalu melonggarkan sedikit dasi yang mengikat lehernya. Remaja dengan wajah menggemaskan itu menjatuhkan tubuh lelahnya di atas ranjang yang empuk. Matanya yang bening memandang langit-langit kamar. Kara menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.

Sudah lima tahun berlalu setelah peristiwa itu. Namun, masih terbayang dengan jelas di kepalanya, saat dirinya menangis meraung-raung sambil memegangi tangan mama yang ingin pergi meninggalkannya. Kara masih ingat wajah mama yang tanpa bersalah itu dengan tega menelantarkan dirinya dan ketiga kakaknya demi hidup bersama laki-laki lain yang Kara tidak tahu siapa.

"Ma, Kara kangen ...," gumam Kara pedih. Kedua bola mata itu mulai berkaca-kaca, kristal bening mulai menggenang di pelupuk matanya.

Kara menggigit bibir bawahnya kuat, tangannya terkepal menahan segala rasa sakit dan rindu yang terus mengusiknya.

Setelah peristiwa itu hidup Kara banyak berubah. Kara dipaksa dewasa oleh keadaan di usianya yang baru menginjak sepuluh tahun. Di saat anak-anak seusia Kara sedang bahagia dengan hidup dan keluarga mereka yang lengkap, sementara Kara harus menelan pil pahit kenyataan. Di mana mama lebih memilih pergi hanya karena ego dan nafsunya. Meninggalkan papa, Kara dan ketiga anaknya yang lain.

"Mama di mana? Kara kangen." Bibir laki-laki itu bergetar menahan tangis. Tidak ada yang lebih sakit daripada menangis tanpa suara. Menahan air mata dan suara membuat tenggorokan Kara seperti tercekik kuat. Dadanya terasa sangat sesak seperti ada benda berat yang menimpanya.

Kara beringsut, ia mengusap air matanya secara kasar. Ia kemudian berjongkok, tangannya yang panjang meraih sebuah kotak kayu kecil yang ia simpan di kolong tempat tidur. Kara duduk bersandar di tepi ranjang, ia menatap getir kotak kayu berukuran sedang di tangannya. Mengusap permukaan kotak itu dengan pelan. Setetes air mata jatuh mengenai kotak tersebut.

Burung Kertas untuk NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang