Katanya, jika kita berhasil membuat 1000 burung kertas, satu keinginan kita akan terwujud. Namun, apakah hal itu juga berlaku untuk Jendra?
Jendra hanya memiliki satu permohonan kepada Tuhan: ia ingin diberi kesempatan kedua untuk membahagiakan Naya...
Hii, apa kabar? Baik semua kan yaaa? I hope so guys❤️
Part ini agak panjang, semoga nggak bosen yaa wkwk
Selamat membaca, semoga suka❤️🌹
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kaki jenjang berbalut kaos kaki putih itu terus melangkah tanpa arah. Derasnya hujan yang turun tak membuat Naya berniat untuk berteduh sejenak. Gadis itu berjalan menerobos hujan, seolah tidak peduli dengan seragamnya yang basah kuyup.
Naya berjalan di trotoar, ia terus melangkah tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya yang mulai kedinginan dan menggigil.
"Ma ...." Bibirnya bergumam kecil. Pandangannya kosong menatap lurus pada jalanan yang ia lewati.
"Mama kenapa pergi ninggalin Naya lagi?"
Bulir-bulir bening kembali menetes bercampur dengan air hujan. Mata gadis itu memerah akibat air mata dan terjangan air hujan yang mengenai wajahnya.
"Kenapa Tuhan cuma ngasih aku waktu sebentar untuk melihat mama? Bukannya aku menahan rindu udah bertahun-tahun?" Naya bermonolog.
"Aku mau mama kembali, aku mau mama ada di samping aku lagi." Air matanya semakin deras mengalir, membuat kedua matanya terasa sangat perih. Gadis itu mengusap wajahnya secara kasar. Bibir merah jambunya kini berubah menjadi pucat dan sedikit gemetar.
"Aku mau tidur ditemenin mama, mau makan masakan mama, mau jalan-jalan bareng mama, mama ngobrol sama mama, mau foto keluarga bareng mana. Aku mau mewujudkan semua rencana yang udah aku dan mama buat sejak dulu."
"Aku mau—" Naya tidak dapat melanjutkan ucapannya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Kenapa hidupnya begitu mengenaskan? Kenapa Tuhan membuat hidupnya hancur berantakan? Kenapa Tuhan tega memisahkan dirinya dengan mama?
Langkah kaki Naya terhenti, dia hampir kehilangan keseimbangan saat kedua lututnya terasa lemas. Naya bersandar pada pohon besar saat dia melewati taman. Mata indahnya tak berhenti mengeluarkan cairan bening.
"Naya capek ma, Naya capek memendam semuanya sendirian," jerit Naya tertahan, suaranya teredam oleh hujan yang makin deras sore itu. "Naya capek ...."
Naya memukul-mukul dadanya, rasa sesak semakin memenuhi rongga dada membuatnya kesulitan bernapas. Sakit yang Naya rasakan dan ia pendam selama lima tahun seolah menggerogoti tubuhnya dari dalam.
Tidak ada yang tahu betapa sakitnya bertahan di dalam rumah yang sudah hancur berantakan. Betapa sulitnya untuk terus berpura-pura baik-baik saja di saat keadaan justru berbanding terbalik dengan apa Naya rasakan.
Naya menyeka air matanya dengan susah payah. Tubuh ringkih itu terlihat bergetar karena guyuran hujan yang semakin dingin. Naya tampak begitu menyedihkan. Beruntung tidak ada orang lain yang melintas di sekitar jalan tersebut.
"Harus berapa lama lagi Naya harus menunggu, ma?"
Kenapa begitu menyakitkan menjadi salah satu anak yang keluarganya hancur? Naya tidak pernah membayangkan jika hidupnya akan sesulit ini. Tapi Naya sadar, kalau masalahnya tak ada apa-apanya dibanding dengan masalah kakak sulungnya.