"Hiks... Hiks... Hiks..."
Hari ketika aku mengetahui bahwa sumsum tulang kakak cocok untukku, aku berbaring seorang diri di atas tempat tidur rumah sakit dan menangis.
Aku menangis bukan karena senang.
"Oh, tidak mau, itu pasti menyakitkan. Kenapa kau tidak mati saja?"
Aku menangis karena dalam kepalaku terus terngiang suara kakak yang menyuruhku mati tanpa sedikit pun keraguan.
Pada saat itu, aku mendengar suara lirih yang seolah akan memudar kapan saja. "Hei, apa kamu kesakitan?"
Aku terisak lalu menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang gadis kecil seumuranku, dia tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya. Pipinya cekung dan dia pucat sekali seperti dilumuri tepung, tapi aku masih bisa melihat kalau dia seorang gadis kecil yang cantik.
Aku menggelengkan kepala. "Hiks... ti-tidak."
Dia mendekat sambil mendorong infusnya, ekspresinya penuh kekhawatiran. "Lalu kenapa kamu menangis?"
"Maafkan aku kalau aku berisik..."
"Tidak, aku pun sering menangis kok. Apa kamu menangis karena takut mati juga?" Pada saat itu, entah mengapa dia terlihat tidak tenang.
"Malah lebih baik kalau aku mati saja!"
"Apa? Kenapa...?" Tanya anak itu, terkejut.
"Ayah dan ibu berpikir kalau aku ini cuma beban, lalu ketika aku tahu sumsum tulang kakakku cocok denganku, dia ingin aku mati. Hiks... lebih baik aku mati sekarang."
Aku tidak tahu kenapa aku bercerita pada gadis kecil yang bahkan tidak kukenal. Dan aku juga tidak tahu kenapa saat itu aku mengatakan hal yang sembrono di kamar rumah sakit khusus pasien leukemia, tempat di mana kematian selalu menjadi bayang-bayang.
Gadis kecil itu duduk di sebelahku sambil memainkan jari-jarinya selama beberapa saat sebelum berujar dengan suara yang sangat pelan, "kenapa... kamu ingin mati... saat kamu bisa hidup?" Suaranya begitu lirih hingga aku menahan napasku. Dia melanjutkan, "kalau kamu hidup... kamu bisa mengubah masa depan, dan ya, mungkin kamu tidak akan bahagia... tapi setidaknya kamu punya kesempatan."
"Ah......"
"Aku bahkan tidak punya kesempatan itu. Hari saat aku keluar dari rumah sakit ini adalah hari kematianku, dan jika aku mati, aku tidak akan bisa membalas kebaikan orangtuaku, aku tidak akan bisa bertemu teman-temanku lagi, aku tidak akan bisa hidup sampai usia duapuluh tahun." Matanya yang indah berkaca-kaca. "Aku iri sekali padamu, tapi... jangan bicara seperti tadi. Kalau kamu punya kesempatan untuk hidup, hiduplah. Jangan menyerah begitu saja..."
"Maaf..."
Yang bisa kulakukan hanyalah meminta maaf pada gadis kecil yang lebih menyedihkan dibanding diriku.
Beberapa hari kemudian, aku menjalani transplantasi sumsum tulang.
Selagi aku menunggu di ruang pemulihan, seorang perawat mendekat dan berkata, "untunglah, ada tempat tidur yang tersedia di kamar untuk lima pasien. Kami sedang menyiapkannya, jadi tunggu sebentar ya."
Orangtuaku merasa lega, berkata betapa beruntungnya mereka sebab jika tidak tersedia kamar untuk lima orang maka mereka harus mengambil kamar untuk dua orang.
Aku tidak terlalu memikirkannya saat itu.
Namun, ketika aku masuk ke ruang kamar rumah sakit, ruang itu adalah kamar yang dulu, hanya tempat tidurku saja yang kali ini berganti ke ranjang yang dulu ditempati gadis kecil itu.
"P-Permisi! Ke mana anak kecil yang menempati ranjang ini...."
Ibuku mengernyitkan dahi dan menyenggolku saat aku menanyakan keberadaan anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Yang Berbeda
RomanceSeorang pekerja kantoran biasa meninggal dibunuh kakaknya yang gila judi. Setelah meninggal dia bangun di dunia novel yang dibacanya kemarin, yaitu novel "Menolak Obsesimu". Awalnya dia senang karena dia mengira itu kompensasi yang sepadan atas kema...