Chapter 118

826 46 1
                                    

“Kereta ke Appentus, berangkat lima menit lagi! Ayo cepat, cepat!”

Aku sudah melewatkan kereta ke Driburn, jadi aku harus segera naik kereta ke Appentus. Pikiranku tahu itu. Tapi entah mengapa kakiku tidak mau bergerak.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?’

Saat aku berdiri lalu duduk lagi, mengetuk kakiku dengan gelisah, seseorang menempati kursi terakhir kereta menuju Appentus, dan begitu penuh, kereta itu langsung berangkat tanpa menunda-nunda.

Aku menghela napas, menatap parkiran kosong di mana kereta ke Appentus baru saja berangkat.

‘Besok... aku pasti naik kereta ke Appentus besok.’

Dengan tekad rapuh itu, aku memesan kamar di penginapan dekat stasiun kereta.

Tetapi keesokan harinya, aku masih belum bisa naik kereta.

Duduk di bangku yang sama seperti kemarin, aku mengetukkan kaki ke lantai dengan tidak sabar, melewatkan kedua kereta ke Driburn dan ke Appentus, lalu berdiri dan keluar dari stasiun.

Aku bahkan demam pada malam itu, sehingga aku harus menghabiskan tiga hari lagi dengan merana.

‘Kalau begini terus, aku akan tertangkap.’

Tidak sabar, aku segera ke stasiun lagi begitu demamku turun, tapi hari ini cuaca dingin sekali.

Selagi aku menunggu di bawah atap reyot stasiun kereta yang melindungiku dari salju, aku mendengar percakapan orang-orang di sekitar.

“Kau sudah lihat selebaran yang disebar Kediaman Ludwig?”

“Oh, aku melihatnya dalam perjalanan kemari. Dia perempuan yang cantik, ya kan?”

“Uang hadiahnya cukup besar.”

“Aku penasaran apakah kesatria keluarga Ludwig akan segera ke sini. Mereka mungkin akan mencarinya di antara orang-orang yang hendak ke luar dari ibukota.”

“Tidak mungkin, perempuan bangsawan yang hampir mati tidak mungkin naik kereta di tempat seperti ini. Dia mungkin meminjam kereta kuda kerabatnya.”

Perempuan bangsawan yang hampir mati itu ada di sini.

‘Ini benar-benar yang terakhir kali.’

Aku tidak bisa lagi menunda pilihan dan keputusan yang selama ini aku tunda.

Kereta ke Driburn berangkat dalam sepuluh menit, dan kereta ke Appentus dalam dua puluh menit.

‘Jangan keras kepala, jangan menyesal... ayo pergi ke Driburn.’

Berpikir begitu, aku pun membeli tiga kentang yang baru dibakar dari stan yang ada di stasiun. Kentang ini akan menjagaku tetap hangat, dan karena aku belum sarapan, kentang ini akan menjadi santapan yang bagus. Aku mengisi tempat minumku dengan air, jadi seharusnya cukup untuk sampai ke tujuan pertamaku, Ramolo.

Dengan perhitungan itu, aku berbalik menuju kereta ke Driburn, dan tanpa kusadari langkahku terhenti.

Pemandangan para penumpang yang duduk berdesakan, tidak saling berbincang, para kusir merokok tanpa emosi, kuda-kuda mengentakkan kaki... tiba-tiba membuat hatiku terasa sakit.

‘Aku sendirian...’

Seolah mendapat pencerahan dari Tuhan, tiba-tiba aku menyadari hal tersebut.

Selama aku hidup sebagai Choi Suna, setiap momen hidupku dipenuhi kesepian, aku tidak pernah memikirkan ini. Namun hanya setelah aku bertemu Killian, yang mengajariku kebahagiaan, aku jadi mengerti apa itu kesepian.

‘Apa ada alasan untuk terus hidup seperti ini...?’

Hela napas yang keluar seperti isak berubah menjadi napas putih yang memburamkan penglihatanku. Tidak, mungkin itu adalah air mata.

Hidup ini, yang hanya tentang berusaha untuk tidak mati, tiba-tiba terasa begitu sulit sekarang.

Bahkan setelah melarikan diri, aku akan selalu sadar bahwa aku belum memenuhi syarat pengecualian ketiga, dan aku tidak akan pernah melupakan Killian.

‘Mungkin aku akan menemukan orang yang lain dan memulai kehidupan baru, mungkin kami akan menjadi pasangan yang cukup serasi, tetapi apakah itu... kehidupan yang kuinginkan?’

Aku teringat anak kecil yang berkata dia iri padaku saat aku menangis ingin mati ketika aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Anak kecil yang berbaring di sebelahku di bangsal leukimia, yang pada akhirnya menutup mata sementara aku menerima transplantasi sumsum tulang.

Namun kini, saat aku memikirkan anak itu, aku tidak merasa keharusan untuk hidup. Seperti lampu tua yang menyala hingga tetes minyak terakhirnya, aku begitu lelah.

‘Mungkin alasanku masuk ke dunia ini adalah untuk dipenggal Killian sehingga ceritanya bisa tamat.’

Jika keberadaanku memiliki efek positif, efek itu adalah Killian yang tampaknya telah membebaskan diri dari cinta butanya kepada Lize.

‘Mungkin setelah aku tiada, dia akan bebas mencintai orang lain.’

Aku duduk kembali di bangku, memegang kentang hangat yang dibungkus kantong kertas di pangkuanku. Aku menyaksikan kereta, yang menuju Driburn dan yang menuju Appentus, menjauh. Aku tidak lagi merasa cemas atau sedih ketika melihat tempat parkir yang ditinggalkan mereka.

Kentang di pangkuanku mulai mendingin ketika sekelompok kesatria yang mengenakan lambang Keluarga Ludwig memasuki stasiun.

“Akan ada pemeriksaan singkat, tapi kami hanya perlu memeriksa wajah kalian, jadi jangan panik atau takut dan ikuti petunjuk kesatria.”

Selagi orang-orang berhamburan karena pemeriksaan mendadak, aku memasukkan kantong kertas berisi kentang dingin ke dalam tas dan merapikan pakaianku. Wajahku masih memar akibat pukulan keras Sophia, dan aku sedikit cemas Killian akan melihatku dengan jijik.

‘Tidak ada gunanya mencemaskan hal seperti itu ketika kau akan mati...’

Katanya angin terakhir itu menyeramkan, dan orang pertama yang kau cintai setelah kau mati akan mengambil hati dan empedumu. Ah tidak, apakah hati dan empeduku sudah diambil sejak dulu?

Aku tersenyum lemah dan perlahan melepas syal dan selendang yang menutupi wajah dan kepalaku. Lalu aku menunggu kesatria menghampiriku.

“Uh... huh...?”

Seorang kesatria melirik wajahku dengan sopan, berpaling, lalu menoleh lagi. “Uh... permisi...”

“Kau telat.”

“Maaf?” Kesatria yang dikirim untuk menangkapku entah bagaimana jadi semakin kebingungan.

“Kenapa, ada masalah apa?” Seorang pria yang terlihat seperti komandan dalam baju zirah mengkilap bertanya pada kesatria yang ada di depanku.

“Ah, tidak, Anu... saya rasa kita menemukannya...”

“Apa?”

Perlahan aku menolehkan kepala untuk menatap komandan kesatria yang juga berseru “Huh!” dengan terkejut.

“Aku sudah menunggu, ayo berangkat.”

Aku berdiri dan mencoba tersenyum. Namun kakiku kaku dan kebas karena duduk terlalu lama dalam cuaca yang dingin.

Untunglah, kesatria di depanku menangkapku tapi dia memegang tanganku terlalu kencang sehingga aku tidak tahan dan menjerit.

“Aduh, sakit!”

Kesatria itu melepas pegangannya karena kaget, dan aku berpegangan pada tiang di sebelahku sembari mengatur napas.

Aku berhasil berdiri sendiri, tapi kakiku gemetar sehingga aku tidak bisa berjalan dengan benar.

“Sebagai buronan aku minta maaf kalau merepotkan, tapi apa kalian bisa membantuku? Kakiku sulit digerakkan...”

Berdasarkan hukum, seharusnya aku berjalan kaki ke Kediaman Ludwig sambil diikat tali.

Komandan kesatria tampak berpikir selama beberapa saat sebelum memanggil kesatria lain.

“Kalian berdua bantu dia berjalan dari kedua sisi.”

“Apa dia... akan kembali seperti ini?”

“Kita akan membiarkannya berjalan sendiri ketika sudah di dekat Kediaman.”

Aku berterima kasih pada komandan kesatria atas keputusannya.

‘Sekarang, aku akan bertemu Killian!’

Aku tersenyum meski aku dalam perjalanan menuju kematianku.


❇ ❇ ❇ ❇


Killian beruntung bisa bertemu dengan seorang pria yang mengendap-endap di dekat vila Wellesley.

“Dia mengendap-endap di tempat sepi ini, seolah dia tahu betul tempat ini, sepertinya dia sedang mencari sesuatu!”

“Jika dia tahu tempat ini, kemungkinan besar dia salah satu tentara bayaran yang melarikan diri!”

Para kesatria yang menangkap pria itu berteriak, sedangkan pria itu berbaring tengkurap di tanah sambil gemetaran.

Killian berjongkok di depan pria itu, menarik tangannya dan membuatnya berdiri. Dia lalu bertanya, “Apa kau, kemungkinan, tahu seorang wanita berambut merah kecokelatan pernah dikurung di sini? Tingginya sekitar segini dan matanya berwarna coklat... jika kau bisa memberiku informasi tentang keberadaannya... aku tidak akan menangkapmu.”

Mendengar itu, pria tersebut bergerak gelisah, tidak mampu menatap mata Killian, seolah-olah dia ketakutan, dan suaranya nyaris tidak terdengar.

“A– apa Anda akan menangkapnya, Sir?”

“Aku putus asa mencarinya. Aku harus menemukannya!”

“Wa– wanita itu berkata... dia adik kapten... tapi dia tidak ada hubungannya dengan mereka, dia orang baik-baik!”

Killian merasa secercah cahaya menyinarinya saat mendengar perkataan pria yang ternyata tidak hanya mengenali Edith tapi juga peduli padanya.

“Ya, kau benar, dia sama sekali tidak bersalah! Kau pernah bertemu dengannya? Tolong beritahu aku, aku suaminya!”

Pria itu tampak sangat lega dan melanjutkan, “S- sebenarnya... saya tentara bayaran yang diperintahkan untuk mengurungnya di ruang bawah tanah. Tapi ketika saya mendengarkan cerita hidupnya, saya jadi merasa kasihan, tetapi tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantunya... saya hanya melonggarkan tali yang mengikatnya.”

Baru setelah itu Killian mengerti bagaimana Edith bisa melepaskan diri dan kabur dari tempat itu.

“Lalu dia berterima kasih pada saya, dan memberi saya serta rekan saya kalung Ruby yang dia pakai, dia menyuruh kami kabur, katanya kesatria Duke akan segera tiba. Jika kami tidak kabur saat itu, kami pasti sudah mati.”

“Jadi kaulah tentara bayaran yang kabur sebelum menerima bayaran.”

“Benar. Setelah itu, saya mengetahui siapa kapten yang memperkerjakan kami dan siapa orang-orang yang kami culik, tapi seberapa pun saya mendengarkan, saya tidak bisa mendengar apa pun tentang Nona itu, jadi saya pun bergegas kemari.”

Killian menggenggam erat tangan pria itu dan mengatakan terima kasih berulang kali. Sedikit pun dia tidak bisa membantu Edith, tapi tentara bayaran Shane telah membantunya. Betapa besar bantuannya untuk Edith. Dia bahkan telah memberikan informasi yang penting.

Isekai Yang BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang