"Hey gendut!"
Aku menoleh, fokusku yang tadi hanya tertuju pada segerombolan anak nakal yang di hukum pak Satria guru killer di sekolah beralih ke remaja bermata sipit yang berdiri di belakangku. Dia tersenyum lebar yang membuat matanya ikut tersenyum, cantik....
"Namaku Chika yah, gak usah diganti-ganti" Ketusku, terdengar marah tetapi tidak sama sekali. Remaja di depanku tahu itu, dia berjalan kearahku menepuk ruang disebelahku sebelum akhirnya ikut duduk.
"Mau?"
Ara, remaja di sebelahku menyodorkan sekaleng minuman dingin. Aku meraihnya dan meminumnya, sedangkan sang pemberi minuman fokus pada murid-murid yang berada di lapangan.
"Kamu kalau mau cepet kurus harus olahraga kayak mereka" Ara menunjuk pada sekumpulan murid yang di hukum dengan berjalan jongkok.
Aku tahu dia sedang mengejekku. Tubuhku yang gempal ingin sekali kulemparkan keatasnya dan kemudian menggilingnya, hanya ingin tapi tidak marah. Aku justru tertawa kecil.
"Yessica tak marah.." Lirih Ara sambil menatapku, aku balas menatapnya yang membuat kita berdua berakhir dengan saling bertatapan.
"Indah"
"Indah"
Kataku dan Ara bersamaan, aku terkesiap berbeda dengan Ara yang tersenyum lebar. Dia dengan gaya arogannya mengibaskan rambutnya layaknya model iklan shampo dan berkata angkuh.
"Terima kasih, aku memang indah"
Aku menyerah, orang seperti Ara dengan tingkat kepedean yang tinggi sangat tidak cocok berduaan denganku. Itu akan membuatku overdosis dengan kesombongannya.
"Ehh mau kemana?"
Ara menahan pergelangan tanganku saat melihatku bangkit.
"Bentar lagi bel" Jawabku sekenanya.
Bibir Ara maju beberapa centi.
"Bolos yuk! Bosen ahh belajar"
Aku nenggeleng cepat.
"Aku gak bisa, kita udah kelas dua Ara. Cita-citaku pengen dapat beasiswa saat lulus" Tolakku.
Aku pikir saat mendengar penolakanku pikiran Ara akan terbuka dan dia akan mengikuti mata pelajaran terakhir, tetapi ternyata salah. Dia membolos!
Tapi sepertinya itu bukan masalah bagi Ara yang merupakan anak dari orang terkaya di kota ini, dia tidak memikirkan tentang beasiswa sepertiku.
Di dalam kelas aku fokus memperhatikan pelajaran, hingga akhirnya getaran dari ponselku membuat fokusku buyar.
Selama aku hidup dan mempunyai ponsel, hanya dua orang yang punya kontakku. Itu adalah mama dan yang lainnya Ara.
Bukan karena aku tertutup atau sombong, tapi anak orang miskin sepertiku tidak akan bisa menjadi teman bagi orang lain. Aku terlalu miskin, asal kalian tahu...
Dengan gerakan hati-hati aku membuka layar ponselku, itu adalah pesan dari Ara.
[Ara] : Gendut, aku sekarat di UKS
[Chika] : Mati aja sono!!!
•••
"Apanya yang sakit?"
Ara yang berbaring di ranjang UKS bangun ketika melihatku. Sial, aku benar-benar tidak bisa mengabaikan gadis bermata sipit ini.
Ara cengengesan tapi bingung juga. Bukan hanya dia, aku juga bingung.
Aku bukan murid yang suka meninggalkan kelas saat pelajaran sedang berlangsung, aku bahkan tetap tinggal dan mengerjakan ulanganku meskipun di gedung kelas lain seorang siswi perempuan yang ketahuan hamil sedang mencoba untuk bunuh diri! Itulah aku, siswi miskin yang terobsesi dengan beasiswa.
"Aku bercanda kok..."
Aku meringis, ingin menjitak Ara tetapi menahannya.
"Kamu sebaiknya jangan suka bolos, bentar lagi ujian kenaikan kelas"
"Tau kok nona Tak Marah"
"Gak usah yah, gak usah ganti-ganti nama gue yang udah di bubur kacang merahin" Kesalku.
Ara melotot tidak percaya, aku tahu alasannya. Itu karena ucapanku menggunakan kata 'gue'. Kata yang tidak pernah keluar dari mulutku jika hanya ada aku dan Ara.
"Kamu beneran marah?" Kali ini Ara meraih kedua pergelangan tanganku, wajahnya memucat ketakutan.
Nah, sekarang tahu takut? Tadi kemana aja?
Aku memutar mataku.
"Bercandaaa"
"Gak asik ahh candaannya" Keluh Ara.
Aku tertawa kecil, hal itu semakin membuat Ara kesal. Dia tanpa berperasaan mendorong tubuhku berbaring di ranjang yang disediakan untuk murid sakit saat berada di UKS.
Mata cokelatku melotot, berusaha lepas dari kurungan Ara. Dia terlalu nakal!
"Ra, lepasin!"
"Gak akan, minta maaf dulu"
Alis kananku terangkat, wajah Ara yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahku terlihat sangat kusut.
"Minta maaf buat apaan sih?"
"Buat yang tadi..."
Aku berpikir, ketika tahu letak ketidaksukaan Ara di mana tawaku pecah dan tentu saja hal itu semakin membuatnya marah. Ara berusaha menutup mulutku dengan kedua tangannya, tetapi itu tidak berhasil sama sekali.
Tubuhku bergetar karena tawa, dan wajah Ara sudah memerah.
Cup!
Hening.
Mataku berkali-kali mengerjap, berusaha mencerna kejadian yang berlangsung tidak lebih dari 5 detik yang lalu.
Kedua bibirku terbuka, tapi aku tidak tahu harus bicara apa. Ara disisi lain mulai bangkit, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
Ruang UKS yang tadinya berisik karena tawaku menjadi begitu sunyi. Hanya dadaku yang mulai bergerumuh.
"K-kamu g-gakpapa kan? A-aku...aku...balik ke kelas duluan" Aku bangkit, merapikan seragamku yang sedikit kusut kemudian berjalan cepat keluar.
Langkahku cepat menyusuri kooridor sekolah, bahkan saat Ara berteriak memanggilku aku tetap berjalan pergi dan masuk kembali ke kelas.
Guru yang mengajar menatapku bingung, itu karena aku menggunakan alasan tidak enak badan saat ijin ke UKS.
"Chika kenapa kembali?"
"Udah mendingan kok bu..."
Bu Indah mengangguk paham, aku kemudian kembali duduk di kursiku dan mulai menyimak pelajarannya.
Tetapi sepanjang jam terakhir pelajaran, hatiku sama sekali tidak bisa diajak kerjasama. Dadaku terus saja berdebar, terlebih saat kembali mengingat bibir lembut Ara yang berada di bibirku.
Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana aku harus menghadapi Ara?
•••
Maaf kalo feelnya gak dapet🙏🙃
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUTO (Chika×Ara)
Romantik"Aku adalah PLUTO yang pernah memotong orbit NEPTUNUS dulu"