Aroma obat yang kuat membuat Ara terbangun, matanya yang sayu terbuka perlahan.
Hal pertama yang dilihatnya adalah tembok berwarna putih, juga selang infus yang terpasang di punggung tangannya.
Ara meringis, mencoba untuk bangkit tapi rasa sakit di kepalanya membuat tubuhnya lemah. Dia tidak bisa bergerak sama sekali.
Ceklek...
Pintu kamar terbuka, Ara mengangkat pandangannya. Di ambang pintu Chika dengan wajah sembabnya berjalan masuk, dia berusaha tersenyum tapi saat melihat wajah pucat Ara mata cokelatnya kembali berkaca-kaca.
Ara tersenyum, dia berbaring dan memanggil Chika untuk ikut berbaring di sampingnya.
Ranjang rumah sakit tidak besar, saat Chika naik berbaring itu menjadi sempit. Jadi Ara harus memeluk tubuh Chika agar meringkuk di pelukannya.
5 menit berlalu...
Selain deru nafas mereka, tidak ada suara yang lain.
"Kamu udah tau?" Ara akhirnya membuka suara, Chika tidak menjawab pertanyaannya tapi pelukan dipinggangnya menjawab semuanya.
Ara tersenyum tipis, dia dengan lembut mengecup ubun-ubun Chika. Aroma rambut Chika membuatnya tenang, dia menutup matanya.
"Raa, kamu gak bakal ninggalin aku kan?" Suara Chika tercekat.
Dia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya, kanker otak yang di derita Ara sudah masuk ke stadium 3. Ara cukup beruntung karena beberapa hari terakhir masih terlihat sehat.
Chika semakin meringkuk di pelukan Ara, dia tidak dapat membayangkan perasaan sakit yang Ara derita seorang diri.
"Aku harusnya nyari kamu dari dulu, hiks..." Chika terisak diujung kalimatnya.
Ara menggeleng, dia tidak ingin membuat hati Chika buruk.
"Michie mana?"
"Ada di rumah, bareng mama"
Mereka kembali diam.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, sesekali hanya isakan tertahan Chika yang terdengar. Dia ingin mengeluh tentang banyak hal, tapi takut hal itu membuat Ara sedih.
"Ada banyak dokter, pasti ada yang bisa nyembuhin kamu...aku yakin"
Kali ini Chika menatap Ara penuh tekad, mata cokelatnya berisi ambisi. Tapi Ara merasa itu adalah hal yang sia-sia, dia akan mati....
"Waktu aku udah gak banyak"
"Ara!" Tubuh Chika bergetar, dia bangkit dan menatap Ara tajam.
"Faktanya emang begitu Chik, aku bakal mati"
"ARA CUKUP!"
Teriakan Chika menggema di dalam kamar, dadanya naik turun dan detik berikutnya dia terisak kuat.
Ara linglung sejenak, sebelum dia bergegas kearah Chika yang menyebabkan infus di tangannya terlepas. Tapi Ara tidak peduli sama sekali, dia lebih peduli dengan Chika yang terisak.
"Maaf..." Ara menarik Chika kedalam pelukannya.
"Hiks...hiks...aku gak ngijinin kamu pergi..." Chika meraih kerah baju Ara dan terisak.
"Aku juga gak mau pergi..." Ara meraih kedua tangan Chika dan menciumnya lembut, matanya memerah.
"Hiks...hiks..."
Chika terus menangis di dalam pelukan Ara, matanya semakin sembab. Ara harus menenangkannya dengan beberapa kata sebelum akhirnya dia jatuh tertidur.
Melihat wajah kelelahan Chika yang berbaring di kasur, air mata Ara terjatuh. Dia mulai terisak pelan, rasa sakit yang berada di kepalanya menjalar turun ke dadanya dan menimbulkan rasa sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUTO (Chika×Ara)
Romance"Aku adalah PLUTO yang pernah memotong orbit NEPTUNUS dulu"