Aku pikir ucapan Ara yang ingin pulang bersamaku hanya bualan semata, itu karena saat bel pulang berbunyi dia harus keruang cheerleaders untuk rapat. Jadi aku yang tidak punya kegiatan apapun lagi memilih untuk ke halte bus.
Beberapa menit menunggu di halte, tiba-tiba seseorang yang tingginya hampir sepantaran denganku berdiri mendekat. Aroma parfum jasmine dari tubuhnya menguar ke udara, kedua alisku menyatu. Dengan hati-hati aku menatapnya, wajahnya yang tertutupi topi hitam dan masker hitam membuat pengelihatanku terbatas.
"Ini aku..."
Aku tertegun, suara jernih Ara yang bersatu dengan kesan jengkel terdengar. Sudut bibirku terangkat.
"Bukannya lagi rapat yah?" Tanyaku.
Ara yang berada di balik masker hitamnya menggeleng kecil. Aku tahu dia sedang berbohong.
"Kabur?"
"Aku udah ijin kok"
Suara Ara yang gugup membuatku ingin protes, tetapi bus yang akan aku naiki telah tiba jadi aku hanya bisa menyimpan semua protesku dan naik ke dalam bus.
Ini adalah jam-jam sibuk, ada banyak orang yang masuk ke dalam bus untuk mencapai tujuan mereka.
Karena Ara tidak terbiasa dan aku takut dia kesulitan, jadi dengan sigap aku meraih pergelangan tangan kirinya dan mengajaknya masuk ke dalam bus bersamaku.
Sial! Bus hari ini terlalu ramai, tidak ada tempat duduk sama sekali.
"Berdiri di sini..." Bisikku ke telinga Ara, mata jernihnya menatapku.
"Tidak ada kursi kosong" Lanjutku sambil melirik sekeliling kearah kursi bus yang penuh.
Ara yang tidak terbiasa berdesakan memajukan tubuhnya kearahku, alisnya menajam. Itu adalah ciri khasnya setiap kali merasa tidak nyaman.
"Ayo turun, mobilku ada dibelakang"
Aku menggeleng cepat, akan sangat merepotkan jika turun sekarang. Itu karena kita berdua berada di tengah-tengah.
"Gak ada yang nyuruh kamu ikut..." Ucapku sebelum Ara memulai protesnya.
Merasa kalah, Ara akhirnya diam hanya tubuhnya yang semakin bergerak ke tubuh gemukku.
"Panas" Bisik Ara lagi.
Tentu saja ini panas, bus ini hanya bus biasa tidak seperti mobil miliknya yang merupakan salah-satu mobil edisi terbatas.
10 menit berlalu.
Tubuhku yang hanya berjarak beberapa centi dari Ara mulai gerah, aku menatap Ara yang menunduk di depanku berusaha bertoleransi dengan panasnya bus.
Jika aku saja yang tidak memakai apapun diwajahku merasa pengap, lalu bagaimana dengan dia?
Jadi, tanpa inisiatif Ara aku mengangkat tangan kananku dan menurunkan maskernya. Wajah Ara yang memerah bergerak menatapku.
"Kamu kepanasan?" Tanyaku sambil mengusap pipi dan jidatnya.
Ara menggeleng kecil, tetapi wajahnya yang terbakar tidak mampu berbohong. Karena suasana bus sedang berisik dan orang-orang sibuk dengan kegiatan mereka sendiri, aku dengan perasaan was-was memajukan wajahku.
Ara memejamkan matanya? Kenapa dia harus memejamkan mata padahal aku hanya ingin meniup wajahnya?
Fuhhhh
Aku meniup wajah Ara dengan sekuat tenaga, berharap dia yang sedang kepanasan sedikit lebih baik. Tapi tampaknya aku keliru, sekarang wajah Ara semakin merah dan itu membuatku panik.
"Kamu harusnya gak naik bus tadi" Ucapku dengan nada khawatir.
"Tapi aku udah janji mau pulang bareng"
"Lain kali kita pesan taxi aja kalo gitu, liat muka kamu merah" Balasku sambil kembali menyeka keringat di dahi Ara.
"Chik, mata kamu cantik"
Deg!
Deg!
Deg!
Aku tanpa sadar memegang dadaku sendiri, berusaha menetralkan detaknya yang kuat.
Kenapa remaja yang berdiri didepanku ini suka sekali membuatku berdebar?
Perasaan sensitif seperti ini akan membunuhku! Aku tidak tahan lagi!
Takut Ara semakin berbicara asal, aku dengan cepat berbalik memunggunginya. Tetapi tampaknya apa yang kulakukan salah, Ara yang merasa dicueki melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.
Karena tubuhku yang gemuk, kedua tangannya tidak mampu bertemu.
"Aku gendut yah?"
Tidak ada jawaban, Ara yang berada dibelakangku tetap diam. Hingga akhirnya wajah sampingnya berada tepat di dekatku, menempel di pipi kananku.
Aku melirik keorang-orang didekat kami berdua, melihat tidak ada yang peduli aku tanpa sadar menghela nafas.
"Aku suka kamu yang gini, jangan mikir aneh-aneh. Di mataku kamu cantik kok..."
Tuhan...wajahku memanas sekarang. Bahkan detak di dadaku semakin kuat, aku hanya bisa berharap Ara tidak akan mendengarnya.
"Tapi temen-temen di sekolah suka ngejek" Keluhku.
Ara juga tahu ini, karena hubungan 'pertemanan' kami berdua rahasia dia tidak bisa melakukan banyak hal untuk membantuku.
Terakhir kali dia mencoba, keesokan harinya ada banyak surat kaleng yang penuh hujatan di lokerku.
"Kita aneh tau..."
"Aneh kenapa?" Tanyaku.
"Kita kayak orang pacaran yang lagi backstreet"
Busshhh...
Pipiku memerah, aku menundukkan wajahku dan menatap ke lantai bus. Wajah Ara yang masih bertengger di pundakku bergerak, samar-samar aku dapat merasakan hembusan nafasnya di leherku.
"Kamu akhir-akhir ini suka sekali malu" Lirih Ara yang semakin membuatku tertunduk.
Melihat reaksiku pelukan Ara di pinggangku terlepas, di tengah sesaknya kerumunan dia dengan paksa menarik tubuhku agar menghadapnya.
Mata elangnya yang tajam menatap lekat-lekat manik cokelatku.
Beberapa detik kemudian Ara tersenyum, dan detik berikutnya dia memelukku. Begitu erat hingga aku tidak bisa melepaskannya.
"Andai aja kamu cowok, aku pasti udah nembak kamu" Lirih Ara yang berhasil membuat tubuhku menegang.
"Gak harus beda gender kan Ra?" Tanyaku pelan.
"Hah? Apa?"
Aku menggeleng, dan kemudian membalas pelukan Ara.
Meskipun suasananya panas karena berhimpitan dengan penumpang lain di dalam bus, tetapi di peluk oleh Ara membuatku nyaman...
"Pelukan kamu hangat" Pujiku.
"Yaiyalah hangat kita di pepes gini" Balas Ara yang sukses mendapat cubitan ringan dariku.
Ara meringis kecil, takut kulitnya yang putih luka aku tanpa sadar memasukkan tangannku ke dalam pakaiannya dan mengelus tempat dimana tadi aku mencubitnya.
"Chik?"
"Hmm?"
"Gak...gakpapa kok"
Sepanjang perjalanan menuju halte berikutnya, aku dan Ara tetap seperti ini. Berpelukan dan saling mendengarkan detak jantung masing-masing.
"Raa, gimana kalau ternyata aku jatuh cinta....ke kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUTO (Chika×Ara)
Romance"Aku adalah PLUTO yang pernah memotong orbit NEPTUNUS dulu"