19. Pembawa Sial

163 21 1
                                    

-ALANDAR-


20.00

Haidar menatap langit langit ruangan dimana dia dirawat. Pikirannya bercabang kemana mana. Kedua saudaranya yaitu Alano dan Alina juga hanya diam tak bergeming, duduk di samping kanan bankarnya.

Hingga Haidar mengucapkan satu kalimat.
"Aku membunuh orang lagi" ucap Haidar yang digelengi Alano

"Bukan salahmu" ucap Alano

"Jelas salahku. Aku bukan lagi terlambat, tapi aku tidak datang" ucap Haidar

"Bang, berhenti untuk berfikir seperti itu. Alina tidak suka" ucap Alina yang di gelengi Haidar.

"Sudah lima orang yang terbunuh. Kalian pergilah, nanti kalian celaka jika berada di dekatku. Benar kata Papa, aku memang anak pembawa sial" ucap Haidar yang membuat Alano geram

"Berhenti. Kamu adikku, kamu bukan anak pembawa sial!" ucap Alano

"Jika saja aku mengindar, pasti kecelakaan itu tidak terjadi dan Gavin masih hidup sampai saat ini" ucap Haidar

"Jangan berjika jika. Yang terjadi, biarlah. Kamu tidak akan bisa mengulanginya" ucap Alano

"Benar, aku hanya bisa menyesalinya" jawab Haidar

"Abang, kenapa?" tanya Alina secara tiba tiba

Haidar menghela nafas berat. "Aku ingin sendiri" ucap Haidar yang di angguki Alina

"Ayo Bang. Kita keluar, Bang Anzo ingin sendiri" ucap Alina menepuk pundak Alano seraya tersenyum manis.

Haidar hanya diam menatap kedua punggung saudaranya yang menjauh dan keluar pintu ruangannya.

"Maaf"

Kata itu meluncur bersamaan dengan air mata nya. Dia bingung dengan ini semua. Dia harap semua ini segera berlalu demgan cepat. Dia malu. Mengapa bisa anak pembawa sial, anak penyakitan semacamnya malah nekat menjadi ketua geng besar di kotanya? Harusnya dia habiskan waktu remajanya hanya dengan berbaring dengan selang infus yang akan menjadi sahabatnya. Bukan berkeliaran memimpin sebuah Geng yang biasa di lakukan oleh jagoan keren, mengurus urusan perusahaan ini itu yang biasa di lakukan orang dewasa, belum lagi keluar negri untuk mengenalkan penemuan dan mendatangi pertemuan yang biasa di lakukan oleh orang penting. Mengapa dia melakukan itu semua? Harusnya dia menyingkir dari kehidupan, harusnya dia menikmati detik detik kematiannya. Bukan malah seperti orang keren.

----

Alina dan Alano saling diam di kursi tunggu depan ruangan dimana Haidar melakukan perawatan intensif.

"Maaf Bang, Alina hanya takut"  ucapan Alina berhenti sejenak.

"Bang Anzo nggak akan ninggalin kita seperti Bang Gavin 'kan?" tanya Alina seraya menatap mata Alano dengan penuh harap.

Alano tersenyum tipis. "Abang harap begitu" jawab Alano

Alina beralih memperhatikan Haidar. "Kenapa Bang Anzo selalu mendapat rasa sakit? Kenapa nggak Alina aja? Kenapa harus Bang Anzo yang nanggung kematian nenek? Kenapa harus Bang Anzo yang di jadikan pelampiasan Papa? Bukannya anak Papa itu nggak hanya Bang Anzo?"

Alano terdiam sejenak. Benar. Hari hari yang Adiknya lewati pasti selalu berat.

"Karna, Allah tau kalau dia adalah anak yang kuat. Nyatanya, dari kecil mendapat siksaan dari Papa sampai sekarang, di kucilkan saat SD, dan di abaikan oleh Mama dari kecil, nggak membuat dia menyerah. Jujur, kalau saja abang di posisi Anzo, pasti abang udah nggak ada disini" ucap Alano yang membuat Alina terdiam.

"Kalau Alina diposisi Bang Anzo, Alina nggak kuat banget. Alina bisa gila karna sikap kejam Papa dan sifat acuh Mama" ucap Alina

Alano tersenyum simpul.  "Lin, setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi masalah hidupnya masing masing. Walaupun kita memiliki masalah yang sama, belum pasti kita menyikapinya dengan cara yang sama pula. Coba deh, seandainya aja kalau nilai matematika kamu remidial, apa yang kamu lakukan?" tanya Alano

"Mencari letak kesalahan jawaban lalu ngerjain ulang sampai benar semuanya" jawab Alina

"Iya, kalau Anzo dia akan meninggalkan hasil ujiannya, dan lebih menekuni mata pelajaran lainnya agar tidak segagal matematika. Cukup matematika saja yang rendah, lainnya jangan" ucap Alano yang membuat Alina terdiam

"Benar. Ternyata berbeda. Kalau abang?" tanya Alina

"Ngapain belajar. Buang buang waktu" jawab Alano seraya tersenyum jahil yang membuat Alina kesal.

"Tidak patut ditiru" ujar Alina seraya menggelengkan kepala.

Alano tertawa renyah lalu merangkul pundak adik perempuannya itu.

"Bang, kapan ya Papa berubah?" tanya Alina yang tatapannya berubah menjadi sendu.

"Apa memang tidak akan berubah? Tapi kenapa? Bukannya Allah maha membolak balikkan hati? Alina selalu  berdoa di sepanjang malam agar Papa berubah menjadi Papa yang adil kepada ketiga anaknya, dan Bang Anzo dapat tertawa di antara kita berempat. Tapi kenapa, tidak ada satupun yang terkabul?" tanya Alina

"Lalu? Kamu mau menyalahkan siapa? Allah? Alina..rencana Allah lebih baik dari rencana manusia. Doa yang dipanjatkan tidak selalunya langsung di kabulkan, ada juga yang di tunda dan terkabulkan di kemudian hari. Alina, jangan lelah untuk berdoa" ucap Alano yang di angguki Alina.

"Alina ingin masuk ke dunia Bang Anzo. Alina ingin melihat sisi lain dan kebiasaan Bang Anzo. Pasti ada yang nggak kita ketahui dari Bang Anzo" gumam Alina

"Anzo itu anak yang baik. Heum, beberapa hari yang lalu..Abang lihat Anzo berbagi makanan ke Panti Asuhan Tabassam. Dia bawa mobil. Abang aja sampai tercengang lho, itu mobil siapa? Dan dia dapat uang dari mana buat berbagi?" ucap Alano

"Panti Tabassam kan jauh. Kalau ingin berbagi kenapa harus ke Panti Tabassam. Kan bisa ke Panti Haji Natsir?" ucap Alina

"Mungkin karna Panti Tabassam lebih besar dan banyak anaknya dari pada Pantinya Haji Natsir. Semakin besar yayasan kan pasti semakin besar dana yang dibutuhkan" ucap Alano

"Heum, mungkin begitu"

----

"Mama..aku membunuh seseorang lagi!!"

"Mamaaa, maaf Anzo bukannya tidak jera. Anzo tidak tahu semua ini akan terjadi.."

"Mamaaa, aku ingin mengulang waktu.."

"Mamaaa, jangan benci aku lagi."

"Maaa, kematian itu menakutkan. Karna aku selalu disalahkan saat seseorang terdekatku telah mati"

"Mamaaaaa! Aku harus apa?"

"Papaaa, cambuklah Anzo! ANZO BERSALAH PAAA!! ANZO PEMBUNUH!! CAMBUK SAJA PUNGGUNG ANAK PEMBAWA SIALMU INI PA!!"

"Papaaa"

"Gavin...bawa gue!"

Tiba tiba saja lampu merah di depan ruang rawat Haidar yaitu lampu merah darurat canggih  yang hidup kelap kelip pertanda kondisi pasien memburuk. Dan otomatis, Dokter pun mendapat bel untuk segera datang menangani.

Alina memastikan melihat ke lampu darurat pasien ruangan ICU Haidar, dan seketika itu ketika memastikan bahwa tidak salah, Alina membulatkan mata dan langsung berlari memanggil dokter sedangkan Alano bergegas masuk ke ruangan Haidar namun segera di tarik oleh suster yang baru saja datang bersama dokter.

"Biar kami tangani Pasien, adek tunggu di luar.  Kami akan berusaha lakukan yang terbaik"

"A-anzo... setidaknya bertahanlah demi saudara saudaramu, demi Gengmu,  demi cita citamu, dan demi... mendapat pelukan hangat Papa Mama"

Bersambung...

AlandarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang