-ALANDAR-
"Kisahku tidak pernah lepas dari kata 'Lara', aku mungkin akan musnah bersama angan angan yang tidak akan pernah terjadi"
"Maaf, kami tidak ada pilihan lain. Semoga ada keajaiban untukmu wahai anak muda"
Derit roda roda brankar yang agak berkarat yang beradu pada lantai rumah sakit itu terdengar seperti tengah di dorong dengan tergesa gesa.
Suara tapak kaki para orang orang dewasa berbaju putih itu nampak mencoba berlari mendorong bankar dengan pasien di atasnya itu dengan secepat mungkin.
"Kami bukan berniat melanggar sumpah kami. Kami terpaksa, maafkan kami. Biarlah Tuhan yang memutuskan hidup dan matimu untuk saat ini dan nanti. Kami sudah berusaha, kami tidak mampu untuk berusaha lebih lama lagi"
Bankar dengan pasien tersebut di masukkan ke sebuah ruangan tua semacam gudang yang sudah di bersihkan petugas. Seluruh alat alat dan selang infus di lepas.
Pasien tersebut diselimuti hanya sebatas dada.
Para petugas kesehatan bergantian keluar ruangan.
Dan ruangan di tutup rapat.
Pasien sepucat mayat itu hanya bertahan mengandalkan udara dari ventilasi ruangan dan keajaiban dari Allah.
Tidak ada lagi obat obatan yang akan membantunya bertahan hidup.
Semuanya akan murni bantuan dari Allah.
Tidak ada lagi perantara kesembuhannya untuk saat ini.
Mereka meninggalkan 'Dia' berjuang sendiri bersama Tuhannya diambang kematiannya.
Dan ketika sebuah keajaiban datang..
Sepasang mata dengan iris berwarna coklat terang dengan aksen hijau oranye dan lingkar hitam di tepi iris itu terbuka perlahan. Sebuah harapan hidup terpancar pada matanya yang bening, sebening air tenang di atas pasir.
Alisnya mengkerut saat mendapati tempat yang saat ini dia tempati. Semuanya nampak hening dan sunyi.
Sebuah serangan menyakitkan masuk ke gendang telinganya.
Arghh!!!
Telinganya berdenging hebat. Dia menutup telinganya rapat rapat dan memejamkan matanya lalu kembali membuka matanya dan seluruh ingatannya berkelana ke peristiwa peristiwa yang telah berlalu.
"huhuhu Mamaaa"
Air bening nan tenang laksana di atas pasir di dalam lingkar iris matanya itu tumpah.
Suaranya bergetar terus memanggil satu nama.
"KAMU ITU CUMA BEBAN! ANGKAT KAKI DARI RUMAH SAYA SEKARANG JUGA!!"
Kata kata itu terngiang di kepalanya.
"Nggak! Ini semua pasti mimpi! Aku harus bangun! Aku harus bangun! Aku tidak boleh membiarkan Bang Adit berkhianat!" batin Haidar
---ALANO berdiri di balkon kamarnya memperhatikan sebuah bintang bintang yang berjauhan.
Alano akhir akhir ini jadi selalu teringat adik laki lakinya. Apalagi ucapan terakhir adiknya itu sebelum sesuatu yang malang menimpa adiknya.
Tangan kanan Alano memegang sebuah pin perak berbentuk awan yang pecah menjadi beberapa bagian seperti habis di injak oleh seseorang.
"Bang...fotoin Haidar dong!" ucap Haidar yang baru saja lulus Mts itu
Haidar berdiri di depan taman sekolahan dengan mengenakan jas hitam selayaknya wisuda sekolahan.
Di lehernya, terkalung sebuah medali dan di dadanya terdapat 2 pin berbentuk awan.
"Haeh..Yaudah buru!" ucap Alano yang membuat Haidar tersenyum sumringah lalu menyodorkan hpnya ke Alano.
Dia..
juga teringat permintaan yang terakhir kali adiknya itu ajukan.
"Haidar pengen denger abang nyanyi!" ucap Haidar yang ada di sebrang Alano.
Keduanya tengah sarapan di ruang keluarga.
"Nggak usah ngadi ngadi! Lo ngejek gue ya!" seru Alano yang kemudian meninggal pergi Haidar yang masih duduk lesehan menikmati sarapannya.
Alano memejamkan mata. Hidupnya sudah teramat susah. Di tambah lagi adik laki lakinya yang tuli itu.
Ya.
Haidar tuli.
---
Haidar tak henti henti menangisi nasibnya yang benar benar seperti roda yang tak kunjung berputar. Kata orang, kehidupan itu seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Tapi mengapa, kehidupannya selalu di bawah? Bahkan kini dia yakin tak ada harapan lagi untuk bahagia.
Sebuah cahaya masuk ke retina matanya. Haidar menghentikan tangisnya, lalu memperhatikan siluet seseorang yang ada di ambang pintu.
Seseorang itu menghidupkan lampu ruangan. Tapi ternyata lampunya telah mati.
Haidar berusaha bangkit lalu hendak beranjak dari bankarnya. Namun segera di cekal oleh seseorang itu.
Haidar berteriak sekuat tenaga tapi langsung di bekap oleh seseorang itu.
Siapa pula yang ingin menculiknya? Menculik sampah bumi sepertinya?
Menculik beban keluarga sepertinya?Haidar memerosotkan bahunya.
Biarlah dia berpasrah pada kehidupannya.
Tak ada lagi yang perlu di perjuangkan, dan menjadi alasan dia tetap hidup dalam kesengsaraan.
Seseorang itu membawa Haidar keluar ruangan dengan cara di bekap dengan tangan bersarung tangan.
Saat keluar ruangan. Semuanya menjadi terang. Dan Haidar dapat melihat siapa yang telah berusaha menculiknya.
Netranya menangkap sosok remaja yang tingginya tak lebih tinggi dari dirinya.
Haidar melepaskan tangan remaja tersebut yang membekap mulutnya.Haidar mengerutkan alisnya. Wajah sosok di depannya nampak tak asing. Tapi siapa?
"Gue tadi lihat lo di sembunyiin di gudang. Lo gapapa? Atau malah sakit semua karna di lepas semua alat medisnya? Ayo kita pindah rumah sakit aja" ucap remaja yang Haidar rasa tak asing dengan wajahnya itu.
Haidar mengganti raut wajahnya menjadi kebingungan dengan alis yang tetap mengkerut.
"G-gu-e tu-li" ucap Haidar
"Hah?! Lo habis kecelakaan ya?! Wah gimana sih! Petugas medis katanya melindungi dan mengusahakan kesehatan pasien kok malah merlakuin pasien kea begini! Wah!" monolog remaja di depannya.
"Ayo kabur aja. Ntar lo di umpetin lagi malah!" ucap remaja itu lalu menarik Haidar untuk di bawah pergi keluar rumah sakit.
"Pe-ru-ma-han gan-jil" ucap Haidar dengan terbata.
Takut salah ucap karna indra pendengarannya sama sekali tak mendengar apa yang di ucapkannya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Alandar
Random"Sekarang boleh nyerah?" tanya Haidar seraya mengangkat tangannya dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk V, sudut bibirnya yang pucat itu tertarik hingga membentuk senyuman yang manis sekali. "Haidar udah capek" ucap Haidar, senyumnya mulai...