38. Pergi!

100 19 1
                                    

-ALANDAR-

"Semua orang pandai bermimpi, tapi tak semua orang bisa mewujudkannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Semua orang pandai bermimpi, tapi tak semua orang bisa mewujudkannya. Jika mimpimu terwujud, berbahagialah dan banggalah kepada dirimu yang berjuang selama ini"

-▪︎-





"Pergi" ucap Gavin yang membuat Rizal dan Haidar serempak menoleh ke arah Gavin

"Lo temennya Haidar kan? Tolong bawa pergi! Lindungi dia. Lo udah mesti selamet, tapi Haidar sama terancamnya kayak gue" ucap Gavin

"Nggak. Vin? Lo udah nolongin gue waktu di RS. Gue harus balas budi" ucap Haidar

Gavin menggeleng. "Please, Haidar lo harus bebas dan pergi sejauh jauhnya dari mereka. Gue dan Zua udah ketangkep. Jangan sampai lo juga ketangkep. Kalau lo mau bales budi, lo harus turuti apa kata gue, pergi!" ucap Gavin

"Maksut lo ap-"

"Tangkap!"

Gavin mendorong Haidar sekuat tenaga hingga Haidar terjatuh saat dua penjahat itu mendekat. Rizal dengan gesit menarik tangan Haidar dan berusaha menarik Haidar untuk berlari dari tempat itu.

Haidar hanya diam saat tanganya di tarik untuk berlari. Ada perasaan sedih saat melihat kondisi Gavin terutama saat dia harus pergi meninggalkan Gavin.

Entah apa yang terjadi, tapi dia rasa dia terhubung dengan kisah lain yang tidak dia ketahui.

Rizal mati matian menarik Haidar yang berlari agak terseok seok karna kakinya yang terluka apalagi satu dari dua penjahat itu berlari semakin dekat dengan mereka.

Dor!

Brak!

Haidar jatuh tersungkur saat sebuah peluru menembus kaki kirinnya. Rizal berbalik hendak menolong Haidar saat pegangan Haidar terlepas tapi jeritan Haidar membuat Rizal terpaksa menghentikan langkahnya.

"ARGH!!"

Rizal membulatkan matanya saat melihat Haidar yang jatuh berlutut di hadapannya dengan leher yang diikat dengan tali tambang dan ditarik kuat oleh pria di belakang Haidar.

Dengan wajah yang memerah dan bulir bulir keringat yang menetes, Haidar berusaha sekuat tenaga mengeluarkan suara untuk menyuruh Rizal pergi. "P-pulang, Z-zal. D-di tung-nggu, Ib-buk" ucap Haidar dengan terbata bata

Rizal bergetar ketakutan, seumur hidup dia belum pernah berada di situasi seperti ini. Apalagi sampai melihat orang yang dia kenal terancam antara hidup dan mati di hadapannya.

Rizal menggeleng, air matanya luruh. "Gue harus bilang apa ke Ibuk, Lan? Nggak! Lo mati, gue harus mati, Lan! Kita sekolah berangkat bareng, pulangnya ya harus bareng" ucap Rizal

Haidar kembali bersuara, kali ini wajahnya benar benar memerah karna kesulitan bernafas "Ng-nggak har-rusnya lo ber-ada dis-situasi i-ni. G-gue m-minta ma-af. P-pulang! Kas-sihan Ily-yas" ucap Haidar

"HEI!" pria lain datang dengan menyeret Gavin yang tak sadarkan diri dengan kaki yang di tali.

"Jangan bunuh dia! Kau bisa mati di bunuh Tuan!" seru pria itu yang membuat Pria yang menangani Haidar bedecak kesal lalu melonggarkan talinya pada leher Haidar.

Haidar jatuh tertunduk dengan nafas tersenggal senggal. "Lan.." panggil Rizal seraya berjalan mendekat.

"Jangan mendekat!" seru Pria yang menangani Gavin dengan memposisikan pistolnya ke arah Rizal.

Rizal membeku dengan nafas tercekat.

"Pergi atau temanmu mati" ancam Pria tersebut seraya memposisikan ujung pistolnya tepat di kepala Haidar.

"Hitungan ketiga. Peluru ini akan saya luncurkan. Jadi, cepat pergi sebelum saya berubah pikiran"

"Satu"

Rizal tetap diam di tempatnya memperhatikan Haidar yang menunduk lemas dengan kaki yang terus mengeluarkan darah.

"Dua"

"Tig-"

Rizal dengan tangisnya yang semakin luruh berlari menjauh dari mereka.

Dia berjanji akan menghubungi kantor polisi dan menyelamatkan Haidar.

"Tch! Seribut ini kenapa nggak ada orang yang keluar sih!" gerutu Rizal saat berlari di jalan depan perumahan.

Sedangkan di sisi lain, Gavin dan Haidar yang tak sadarkan diri dimasukkan ke dalam sebuah mobil di bangku paling belakang dengan di jaga satu salah satu pria, dimana mobil tersebut memiliki 3 baris kursi dan di baris tengah tersebut terdapat seorang gadis berpakaian serba putih dengan tubuhnya di tempeli selang selang.

"Nggak! Gavin... Haidar..." lirih gadis tersebut dengan sudut matanya yang meneteskan air mata.

"Lihat! Kita berhasil tangkap dua temanmu ini! Astaga, kita pasti mendapatkan bonus dari Tuan..." ejek pria satunya

"Kenapa kalian memperlakukan kami seenaknya seperti hewan?" tanya gadis tersebut dengan suara pelan namun masih bisa di dengar

"HAHAHAHAH! Kalian itu sama! Sama sama di jadikan bahan eksperimen seperti hewan. Jadi jangan di tanya lagi, perbedaan kalian dengan hewan. Karna di mata kami, kalian hanya tikus tikus nakal yang keluar dari laboratorium" ucap Pria itu seraya duduk di kursi supir.

"Kami tidak serendah itu. Kami manusia. Kami layak hidup bebas. Apa salah kami sampai kalian siksa seperti ini?" tanya gadis tersebut

"Salah kalian? Pfft! Pantas saja di jadikan bahan eksperimen. Kalian saja sebodoh itu!" ucap Pria yang ada duduk di antara Gavin dan Haidar yang tak sadarkan diri.

"Hiks!"

"Berhentilah menangis dan sok menderita. Harusnya kau berterima kasih dan tidak kabur karna Tuan telah mewujudkan mimpimu" ucap Pria itu

"Mimpi apa? Mimpi tetap mimpi! Setelah sadarpun semuanya tetap musnah!" ucap gadis itu

"Iya musnah. Tapi ingatannya masih ada kan? Kenapa? Kamu rindu dengan Ayahmu Arnoldy?" tanya Pria yang duduk di kursi pengemudi

"Tidak sama sekali. Lebih baik aku mati dari pada harus kembali ke kehidupan palsu" ucap gadis itu

"Iya? Atau kau kesal dengan temanmu yang sekarang kami tangkap itu?" tanya Pria itu

"Siapa?"

"Haidar?" tebak pria itu

"Kenapa aku harus kesal?"

"Tch! Kau hilang dan dia tidak ada tindakan sedikitpun untuk mencarimu? Atau meminta tolong kepada teman temannya yang puluhan itu untuk mencarimu?" ucap pria itu yang membuat gadis tersebut terdiam, teringat sesuatu.

"DENGAR KAMU! KAMU ITU BEBAN DI ARNOLDY! PERGI DAN JANGAN INJAKKAN KAKIMU DI MANSION MILIKKU! KENAPA KAMU MAU KEMBALI HA?!! KAMU MAU MEREPOTKAN SAYA IYA?!! CUIH! SAYA TIDAK AKAN MENERIMAMU! SAMPAI KAPANPUN ITU!" seru Arnoldy membuat Zua menangis. Bukan karna bekas cengkraman tangan Ayahnya, melainkan dirinya yang masih belum di akui Ayahnya.

Gadis itu, gadis yang bernama lengkap Cayzua Vassya itu kembali meneteskan air mata kala sebuah kilas ingatan terlintas di benaknya.

"Kenapa aku harus kembali? Aku sudah mati disana" ucap Zua










Bersambung....

AlandarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang