ALANDAR
"Jangan sakiti dirimu sendiri, saat ini dirimu hanya memiliki kamu seorang"
▪︎-▪︎
Empat tahun telah berlalu dari kejadian kejadian pengkhianatan yang di lakukan oleh anak buah kepercayaannya yaitu Adi.
Haidar melajukan mobilnya di jalanan kota Jakarta yang masih basah di iringi musik berjudul 'Di akhir perang' yang sudah terputar sejak satu menit yang lalu.
Mata dengan iris coklat madu itu memandang jalanan yang sepi pasca bencana besar yang melanda sebelumnya.
Langitpun nampak gelap padahal waktu menunjukkan pukul 2 siang. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Maka dari itu Haidar menaikkan kecepatan mobilnya agar cepat sampai di lokasi.
Haidar tersenyum tipis mengingat tahun tahun yang sudah di lewatinya dengan berat. Usianya sudah menginjak 20 tahun, ini saatnya dia pergi jauh dari bayang bayang kehidupan lamanya.
Reruntuhan duka itu masih mengapung di ingatannya. Siapa sangka jika akhirnya begini? Menjadi satu di antara 5 ribu warga Kota Jakarta yang masih hidup saat ini.
Sebenarnya, kalau boleh memilih...dia ingin kembali ke saat dia pertama kali masuk SMA. Walau harus di benci oleh kedua orangtuanya tapi setidaknya dia masih bisa memandang wajah kedua orang tuanya dan kedua saudaranya. Dia bisa tertawa bersama teman teman sebayanya. Dia bisa tertawa bersama anak anak panti lainnya. Dia bisa puas berteriak dengan Galen. Dia bisa bermain bersama Alano dan Alina.
Tapi--
Entahlah.
"Jangan harap. Jangan kau paksa. Berhentilah bermimpi. Tidak ada gunanya sama sekali HAHAHAH"
Ciitttt!!
Suara ban mobil yang bergesekan dengan jalanan yang basah itu di peroleh dari penggunanya yang me rem mendadak.
Haidar membenturkan kepalanya pada setir mobil saat pandangannya berubah menjadi gelap gulita seperti mengalami serangan netra, telinganya berdengung dan kepalanya terasa seperti ingin pecah.
Duk!!
"SUDAH KU BILANG JANGAN! SIA SIA! KAU TIDAK AKAN BISA NORMAL KEMBALI!"
"SIAL! HARUSNYA KU BUNUH SAJA DIA!"
Suara suara itu ribut di kepalanya. Sakit. Rasanya sakit sekali menurutnya.
Duk!!
Duk!!
"Alandar! Bangun, nak! Sadar!"
Saat kembali membuka mata, dalam pandangan yang buram, yang pertama di lihatnya adalah tembok putih di depannya yang terdapat bercak
darah yang masih basah."Lan! Stop!"
Haidar melirik ke pundak kanan dan kirinya yang di cengkeram oleh tiga pasang tangan yang berbeda.
Haidar menoleh ke kanan dan mendapati wajah Bu Diah yang sangat panik dan khawatir lalu sedikit menurunkan pandangan dan mendapati Fayruz yang duduk di kursi rodanya yang juga menatapnya dengan raut khawatir. Saat menoleh ke kiri dia mendapati Sean yang juga menatapnya dengan tatapan sendu dan menggeleng pelan seperti menyiratkan sesuatu.
Sean melepaskan cengkraman tangannya pada pundak Haidar lalu menggerakkan jari jemarinya membentuk sebuah rangkaian kata yang tak Haidar mengerti.
Fayruz dengan sedia menerjemahkan apa yang Sean katakan. "Jangan menyakiti dirimu lagi. Kasihani dirimu, sudah di sakiti orang orang lalu engkau sakiti lagi. Dirimu hanya punya kamu seorang, kasihanilah ia"
Bruk!
Haidar pingsan dan tumbang ke belakang yang langsung di tangkap oleh Rizal yang kebetulan di belakang Haidar, di bantu oleh Sean keduanya membopong Haidar untuk di bawa ke kasur Haidar.
Keduanya membaringkan tubuh Haidar yang matanya masih terpejam rapat dan kepalanya yang berdarah akibat di bentur kan berkali kali di tembok itu segera di bersihkan oleh Bu Diah menggunakan kain dan air bersih di baskom yang di bawakan oleh salah satu anak panti.
"Bu! Dia gila ya? Harusnya di rumah sakit jiwa, ini kenapa di buang ke sini? Pantes orang tuanya nggak mau ngurus dia!" ucap Rizal yang langsung di pelototi garang oleh Sean
"Apa! Melotot melotot gitu! Emang bener kan! Dia itu aneh! Seharian ngalamun! terus bentur benturin kepala ke tembok! Apa nggak curiga gue!" seru Rizal
"Stop! Rizal! Berhenti! Ibu nggak mau denger lagi! Kamu tidak tahu apa apa mengenai anak ini! Dia bukan gila. Dia hanya sedang bertarung dengan dirinya sendiri" ucap Bu Diah
"Ibu tau dari mana? Dia itu gila! Ibu jangan sok tahu! Sebelumnya, mana ada anak panti yang begini!" seru Rizal
"Ibu bilang stop! Ibu tahu karna di beri tahu orang tuanya. Kamu baru bertemu dia, karena itu kamu menyimpulkan dia gila" ucap Bu Diah
Rizal mengusak rambutnya dengan kesal lalu keluar dari kamar Sean, Fayruz dan Haidar.
"Sean... Ibu minta tolong sekali sama kamu. Tolong jaga Haidar ya. Kalau dia melakukan hal seperti ini lagi, kamu bisa pegang erat dia dan dudukkan dia, biarkan dia tenang lalu sadar dengan sendirinya" ucap Bu Diah yang di angguki Sean
"Oh iya. Ibu minta tolong lagi ya, Nak. Itu nanti temboknya di bersihkan ya. Ibu mau urus Rizal dulu sepertinya dia merajuk. Nanti Ibu ke sini lagi" ucap Bu Diah yang di angguki Sean kembali
Bu Diah bangkit dari duduknya, membawa nampan berisi baskom dengan air dan kain lalu keluar kamar.
Sean juga beranjak dari duduknya, dia menepuk pundak Fayruz. Lalu mengode Fayruz dengan menunjuk Haidar.
"Jaga dia"
"Iya, gue jaga dia" ucap Fayruz
Sean tersenyum lalu menaruh ujung telapak tangan kanannya di dagu lalu menjauhkan telapak tangannya.
"Terima kasih"
Fayruz mengangguk.
Sean berjalan keluar kamar. Kini yang tersisa di kamar hanyalah Fayruz dan Haidar yang masih belum sadarkan diri.
"Dar, lo baru bangun koma. Terus di bawa ke sini. Harusnya lo itu masih dalam perawatan" ucap Fayruz pada Haidar yang jelas tak merespon karna masih pingsan.
Tak berselang lama Sean kembali membawa air sebaskom dan kain lap untuk membersihkan tembok.
Sean mendekat ke tembok yang berada di ujung dekat kasurnya, tembok yang dekat dengan jendela.
Sejenak Sean terdiam lalu melirik ke jendela. "Pasti ada sesuatu yang terjadi"
Sean menghela nafas lalu membersihkan tembok yang terdapat darah Haidar. "Persis seperti Bang Renan saat itu" batin Sean
"Maaf nggak bisa bantu, Yan" ucap Fayruz yang di angguki Sean
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Alandar
Random"Sekarang boleh nyerah?" tanya Haidar seraya mengangkat tangannya dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk V, sudut bibirnya yang pucat itu tertarik hingga membentuk senyuman yang manis sekali. "Haidar udah capek" ucap Haidar, senyumnya mulai...