01: Lana Banyak Lukanya

169 10 7
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam, bukannya tertidur lelap di atas kasur, seorang gadis justru baru saja pulang. Mencoba untuk memasuki rumah dengan langkah kaki yang mengendap, juga rapalan doa yang terus diuntaikan dalam hati. Semoga saja ia tidak ketahuan.

"Kelakuan kamu semakin hari tambah kurang ajar, ya?"

Seketika Lana tersentak. Kedua mata hitamnya menatap ke arah tangga. Sial! Tetapi mau bagaimana lagi? Ini memang salahnya.

"Mama belum tidur?" Di saat keadaan seperti ini pun Lana masih sempat berbasa-basi.

Bukannya menjawab pertanyaan dari sang anak, wanita yang masih tampak awet muda itu melempar satu plastik sedang ke arah Lana.

Bruk.

Lana terdiam dengan kepala tertunduk. Lagi, ia kembali ketahuan. Hembusan kasar itu terdengar dari mulutnya. Padahal, ia sudah berusaha untuk menyimpannya di tempat aman.

Plastik itu berisi kumpulan kotak rokok yang sudah tak berisi.

"Lana, kamu itu perempuan!" bentaknya mendekati sang anak. Kedua matanya pun menyalang—kentara sekali jika dirinya sedang marah besar. "Kenapa kamu tambah liar? Contoh adik tiri kamu yang gak pernah buat ulah!"

Mendengarnya spontan Lana memutar bola matanya malas. Mencontohi adik tirinya? Bolehkah ia tertawa keras? Adik kecilnya itu hanya pandai bermain topeng, lebih dari pada itu, Lana masih sedikit lebih baik.

"Harusnya kamu itu tahu diri. Mama ajak kamu tinggal di sini, artinya kamu harus ikuti peraturan yang ada di rumah ini!"

Kedua tangan Lana mengepal kuat. Ia terkekeh pelan mendengar untaian kata itu. "Aku gak pernah minta buat tinggal di sini," balasnya menatap Tari—ibu kandungnya dengan penuh luka.

"Kurang ajar!" maki Tari semakin menyalang.

Plak.

Tamparan keras itu kembali diterima Lana. Tenang, ini bukan kali pertama. Maka dari itu, Lana sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Bahkan, gilanya lagi, ia tidak merasakan sakit apapun ketika tangan yang dulunya membelai penuh kasih sayang itu beralih menjadi tangan yang memberikan rasa sakit.

"Jika bisa diminta, Mama gak pernah mau melahirkan kamu, Lakuna!"

Deg.

Demi Tuhan, ini lebih sakit dari apapun. Dari semua rasa kecewa, kekerasan, juga kasih sayang yang tak lagi didapat, ini jauh lebih menyakitkan.

"Ma?" Lana menatap Tari dalam. Jelas, Lana tidak lagi melihat kasih sayang dari tatapan ibunya. Bukankah kasih sayang ibu sepanjang masa? Tetapi kenapa semenjak perpisahan itu Lana tidak lagi mendapatkannya?

"Aku juga gak minta buat dilahirkan."

^•^

Suasana di dalam mobil tampak sangat menegangkan. Belum lagi kepulan asap yang berasal dari mulut seorang Lakuna. Ocehan yang terus didengar pun tak dipedulikan, bagai angin yang berhembus begitu saja.

"Aku udah bilang, jangan kerja lagi!"

"Terus aku harus ke mana, Basupati?!"

Menjalin hubungan semenjak satu tahun lalu, membuat Lana paham jika laki-laki yang menjadi penolongnya itu memiliki sifat yang overprotektif. Salah satunya, perihal pekerjaan. Padahal Lana sangat nyaman berada di sana, belum lagi dengan teman-teman kerjanya yang sangat pengertian. Lana seolah menemukan rumah baru untuknya.

"Aku bukan cari uang, tapi teman. Kamu paham kan?" tanya Lana mendesak Ibas agar memahami dirinya.

Ibas tersenyum remeh mendengarnya, "teman? Naya sama Ayi lo anggap apa?"

Sekejab Lana menghentikan kegiatan favoritnya. Ia menoleh ke samping—terlihat wajah Ibas yang menahan amarah.

"Jauh dari itu, lo gak anggap gue ada, Na?"

'Na'. Nama panggilan itu selalu berhasil membuat hatinya menghangat. Seolah Lana sangat beruntung memiliki Ibas sebagai kekasihnya. Padahal, hubungan mereka sangat toxic.

"Kenapa pembahasannya jadi ke mana-mana, ya, Bas?" Lana balik bertanya. Ia tidak terima disudutkan seolah dirinya yang paling salah. Apa salahnya bekerja part time? Lana hanya berniat mengisi kekosongan di hari-harinya yang sunyi.

"Justru itu, lo selalu mikirin diri sendiri, Lakuna. Lo gak mikir akibat dari keputusan sepihak lo itu? Mama lo selalu berpikir yang nggak-nggak tentang lo!"

Benar. Tari tidak mengetahui jika dirinya bekerja di sebuah cafe. Wanita itu selalu suka menilai sendiri tanpa pembuktian yang pasti. Lagipula, Lana tidak mau memperjelas semuanya.

"Lo ngomong gitu seakan lo pernah mikirin gue aja," sindir Lana yang ikut mengubah gaya bahasa percakapan mereka. Kentara sekali jika mereka sedang adu argumen.

"Gak pernah satu detik pun gue lewatin jika itu tentang lo, Lakuna."

Entahlah, Lana begitu mencintai Ibas. Ia tidak pernah bisa lepas dari laki-laki baik tetapi juga memiliki sisi iblis ini. Bagi Lana, Ibas adalah separuh dunianya.

Setidaknya, Ibas memberikan kebahagiaan untuk Lana.

^•^

Keadaan kantin selalu ramai dan padat saat istirahat pertama. Belum lagi dengan kedai mie ayam Mang Jojo yang paling banyak penggemar. Salah satunya, Lana.

"Ini, jangan terlalu banyak sambalnya," peringat Ibas setelah menyodorkan semangkuk mie ayam.

Lana tersenyum lebar melihatnya. Tangannya pun bergerak mengambil sumpit. Ibas selalu bisa membuatnya jatuh cinta setiap saat.

"Ibas, gak pesan makanan?"

Suara lembut itu memecahkan keheningan di meja mereka. Lana yang mendengarnya pun mendongakkan kepala. Menatap sang sahabat juga kekasihnya secara bergantian. Ah, benar juga, Ibas tidak makan?

"Nanti, gue mau lihat Lana makan dulu," terang Ibas tanpa mengalihkan tatapannya dari Lana.

"Memangnya, kenapa kalau Ibas gak makan?" sahut salah satu sahabat Lana—Ayi.

"Ayi ngomong apa, sih?" Naya berdecak sebal. "Gue kan cuma nanya aja," akunya tanpa berbohong. Memang, salah jika ia bertanya? Pasalnya, tidak enak saja saat mereka semua makan, sedang Ibas tidak sama sekali.

"Mau aku suapin?" tawar Lana menyodorkan satu suapan ke hadapan Ibas. Tentu perlakuan manis itu disambut baik oleh kekasihnya.

Melihat interaksi sepasang kekasih itu membuat Ayi bertepuk tangan kecil—merasa gemas. "Kalian so sweet banget, sih. Setahun pacaran, gak ada rasa bosan kah?"

"Justru, gue semakin jatuh cinta setiap harinya," jujur Ibas mengusap puncak kepala Lana penuh kasih. Baginya, Lana adalah segalanya. Gadisnya, cintanya, juga hidupnya.

Sedang Lana hanya tersipu malu. Kedua pipinya pun memerah. Bukan sekali atau dua kali Ibas berkata demikian, tetapi Lana berhasil jatuh saat mendengarnya.

"Jaga Lana buat kita, ya," pinta Naya tersenyum manis. Siapa yang tak bahagia saat sahabatnya begitu dicintai oleh laki-lakinya?

Ibas mengangguk pasti. "Gue jaga—seerat mungkin," tegasnya tanpa mengalihkan tatapan dari Naya yang tidak pernah melunturkan senyumnya.

Naya berdeham. Memalingkan wajahnya hingga beralih menatap Ayi. Salah satu sahabatnya itu selalu diam memperhatikan lebih dulu, lalu berbicara.

"Karena Lana banyak lukanya, jangan ikut berperan, ya, Bas." Naya seakan belum puas memberi petuah. Ia paling tidak suka jika ada yang menyakiti Lana-nya. Lana harus bahagia. Pantas untuk mendapat kebahagiaan.

^•^

Hai, balik lagi sama aku, Thalla.

Ini baru bagian awal dari cerita Lana yang katanya cuma peran kedua.

Gimana? Ada yang mulai relate sama cerita Lana?

Tunggu aku di part kedua, ya?

^•^

Surakarta , 01 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang