Rawi melepas helm ketika sudah sampai di coffee shop langganannya. Menatap Lana yang terus tersenyum senang dengan aneh.
"Lo sesuka itu sama kopi?"
Langsung Lana menjawab dengan anggukan kepala. "Suka banget, saking sukanya gue mau bangun coffee shop nanti," beritahunya begitu saja. Padahal, ia baru beberapa kali berbicara dengan Rawi. Kenapa ia begitu mudah untuk memberitahukan rahasianya? Ibas saja belum tahu sampai sekarang.
"Beneran?" Rawi menatap Lana tak percaya. "Rencananya kapan?"
"Sebentar lagi, udah mau rilis juga," balas Lana yang sudah pasrah. Sudahlah, ia lebih dulu keceplosan, tidak ada gunanya lagi untuk menutupi semuanya.
"Jangan lupa kasih tahu gue di mana lokasinya nanti," pinta Rawi mengacak rambut Lana dengan gemas. Semuanya terjadi begitu saja. Seolah mereka sudah lama dekat. "Eh, sorry, gue kelepasan," sesalnya merasa malu sendiri.
Lana tampak biasa saja. "Buruan, gue udah gak sabar, nih." Lebih baik ia melangkah masuk duluan dibanding harus berdiri terus di area parkiran.
"Dasar," gumam Rawi tersenyum tipis dan mengikuti Lana dari belakang.
"Lo mau pesan apa?" Lana bertanya sambil membaca menu. "Gue americano aja, deh."
"Gue Ekspreso," jawab Rawi tanpa melihat-lihat lagi.
"Hidup udah pahit, tapi minuman lo juga pahit?"
Rawi menaikkan sebelah alisnya, sedikit menundukkan kepala karena tinggi Lana yang hanya sebatas dadanya. "Salah kalau gue suka?" tanya baliknya membuat Lana mengangkat bahu acuh.
"Duduk di sana aja," titah Rawi menunjuk meja yang tidak jauh dari pintu masuk. Lana pun menurut saja.
"Lo sering datang ke sini?" Lana bertanya penasaran, lebih baik ia membuka percakapan random saja dibanding tidak tahu ingin membicarakan apa.
"Pulang sekolah gue selalu mampir, atau kalau malam juga sering ke sini, sih," aku Rawi menatap Lana dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kalau lo, sejak kapan suka kopi? Selalu pesan americano?"
Lana berpikir sejenak untuk mengingat kapan kali pertama ia menyukai kopi. "Gue suka semenjak kehidupan gue berubah menjadi pahit. Awalnya, gue cobain semua jenis kopi, termasuk ekspreso yang lo pesan tadi. Gila, kalau itu gue gak bakalan mampu buat minumnya, pahit banget," paparnya sambil membayangkan rasa pahit dari minuman ekspreso. Cukup satu kali, Lana tidak ingin mencobanya lagi.
Seketika Rawi tertawa mendengarnya, bukan karena ceritanya, tapi karena ekspresi si pencerita yang membuatnya mengeluarkan tawa.
Melihat itu, Lana terdiam dengan kedua mata mengerjap. Jujur, ini adalah pertama kalinya ia melihat seorang Rawi tertawa. Biasanya, laki-laki ini hanya diam atau paling tidak tersenyum tipis.
"Kok, lo ketawa, sih?" Lana berdecak tak terima. Memangnya, apa yang lucu dari bagian ceritanya tadi?
"Ah, nggak, lucu aja sama ekspresi lo," jujur Rawi lalu kembali datar seperti semula. Kenapa bersama Lana ia begitu banyak memainkan ekspresi?
Lana tak menyahut lagi. Gadis itu sibuk membuka ranselnya dan mengeluarkan kotak rokok juga korek ke atas meja.
"Lo mau ngerokok di sini?" Rawi bertanya dengan wajah yang garang. Tak segan Lana menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Bukannya lo udah sering ngelihat gue ngerokok? Kenapa kaget gitu?"
"Di sini banyak orang, Na," jelas Rawi melihat ke seluruh penjuru cafe. Meski mereka sibuk masing-masing, tetapi tetap saja ia tak ingin jika Lana dinilai buruk oleh mereka. Eh, kenapa dirinya peduli?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me [END]
Genç KurguSiapa di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Baik Lana, Ibas, Naya, Rawi, juga dengan Ayi. Mereka sangat ingin dicintai hingga keegoisan menguasai segalanya. Lana mengira jika dirinya adalah peran utama dalam cerita ini, tetapi gilanya ia adalah p...