07: Papa Itu Kasar

44 5 4
                                    

Sejak tadi Lana tidak memudarkan senyumnya. Ia sangat bahagia karena hari weekend ini digunakan untuk menghabiskan waktu bersama Ibas. Setelah puas bermain time zone, sekarang mereka berniat mencari restoran masakan nusantara.

Genggaman dari tangan Ibas pada Lana tak pernah dilepas. Keduanya seolah saling menggenggam satu sama lain.

"Kamu mau pesan apa?" Ibas bertanya kala mereka telah tiba di restoran yang diincar, lalu mulai membuka buku menu.

Lana bergumam seraya berpikir. "Aku mau rendang sama ayam gulai," balasnya penuh semangat.

"Oke, kamu tunggu di sini, ya," titah Ibas lalu berjalan ke arah depan memesan makanan mereka.

Sembari menunggu Ibas yang sedang memesan makanan, Lana mengedarkan pandangannya. Namun, kala melihat ke arah luar restoran kedua netranya menangkap sosok yang sudah lama tak ia jumpai. Sontak jantung Lana berpacu lebih cepat dari biasanya. Terselip rasa rindu yang mendalam pada orang tersebut.

"Kak Ji," gumam Lana dengan lirih. Tanpa pikir panjang, ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati sosok itu.

Ibas yang baru saja selesai pun menatap ke arah Lana bingung. Mau pergi ke mana?

"Kak Ji!" panggil Lana sedikit kencang. Ia terpaku saat beberapa langkah lagi akan bertambah dekat dengan sosok yang ia sebut Kak Ji. Sayang, kakinya seolah berat untuk melangkah lagi.

"Lakuna."

Kedua mata Lana memerah mendengarnya. Ah, ia sangat rindu dengan suara lembut ini.

"Apa kabar?"

Pertanyaan Lana tidak dijawab, justru ia mendapat pelukan hangat nan erat. Lana bahkan bisa mencium aroma parfum favoritnya.

"Kakak kangen banget, Na," akunya memeluk sang adik setelah sekian lama tak jumpa. "Maaf gak pernah ngabarin kamu. Maaf gak pernah cari tahu tentang kamu lagi."

Lana hanya diam. Mulutnya tertutup rapat seolah membisu seketika. Entahlah, padahal dirinya amat rindu, tetapi tubuhnya seolah menolak. Lana bahkan tak membalas pelukan sang kakak.

"Kamu sehat-sehat aja, kan?" Jihan bertanya setelah melepas pelukannya. Menangkup wajah sang adik dengan kedua tangannya. Sudah berapa lama ia melewati pertumbuhan sang adik hingga Lana bisa secantik ini?

"Kamu gak mau tanya gimana keadaan aku sekarang?" tanya balik Lana yang spontan membuat Jihan menelan ludahnya kasar. "Gimana kabar Papa?" alihnya melihat gelagat Jihan yang seperti tak bisa menjawab.

"Papa baik," balas Jihan cepat.

"Kalau kamu?"

"Aku juga baik," bohong Jihan tersenyum palsu dihadapan sang adik. Ia tak ingin membuat Lana curiga. Setelah sekian lama, kenapa mereka kembali dipertemukan?

Akan tetapi, mendengar jawaban itu membuat Lana tak percaya. Ia melirik ke arah tangan kanan Jihan, juga jari jemarinya.

"Kalau butuh bantuan, bilang sama aku," tegas Lana menatap Jihan lebih dalam.

"Aku yakin papa belum berubah sampai sekarang."

Papa itu kasar.

Mungkin, di sisi lain, setelah perceraian kedua orang tuanya, Lana sedikit bisa bersyukur karena ikut dengan Tari, tidak dengan ayah kandungnya yang temperamental dan suka bermain tangan. Akan tetapi, Lana selalu khawatir dengan Jihan dan ketakutannya itu sekarang terbukti.

"Nggak, papa sedikit lebih baik dari yang dulu, Dek."

Tidak. Lana tidak akan pernah percaya itu.

Satu lagi, papa mereka tukang selingkuh!

^•^

"Ma, aku lihat sendiri!"

Tari tidak ingin mendengarnya lebih lanjut. Ia bersikap seperti tidak peduli dengan cerita Lana.

"Ma, Mama denger aku gak, sih?" Lana berdecak tak terima karena Tari yang sibuk sendiri dengan ponselnya.

"Kak Jihan dipukuli, Ma." Lana tak bisa tinggal diam begitu saja saat melihat luka lebam di bagian lengan kanan Jihan. Serta bekas sayatan di bagian jari-jarinya.

"Salah siapa?"

Dahi Lana berkerut dalam. Ia menatap Tari bingung.

"Salah siapa yang bersitegas pengen tinggal sama pria kasar itu?!" tanya Tari dengan nada yang semakin meninggi. Darma yang baru saja kembali dari area dapur pun menatap mereka tak mengerti.

"Kakak kamu sendiri yang gak mau tinggal sama kita dan lebih pilih tinggal sama dia, Lakuna. Sekarang dia harus terima konsekuensinya sendiri," jelas Tari tak mau ambil pusing. Biarkan saja, ia tak peduli lagi dengan Jihan. Bahkan, anak sulungnya itu tak pernah memberi kabar semenjak perpisahan keluarga mereka.

Mendengar itu Lana menatap Tari penuh kecewa. Apakah ibu kandungnya ini tak lagi menyayangi anak satunya? Kemana kasih sayang ibu yang disebut sepanjang masa itu?

"Kak, ada apa?" Darma akhirnya bertanya dari pada bingung sendiri. Melihat pertengkaran yang terus terjadi ini membuatnya harus bisa menahan sabar, juga menjadi penengah di antara seorang ibu dan anak.

Lana menoleh dan menjawab, "tadi aku ketemu kak Jihan dan ayah tahu? Aku lihat luka lebam di lengan dia. Aku yakin kalau itu kelakuan papa."

Darma membulatkan matanya. Ia sedikit tahu dengan masa lalu keluarga istrinya. Katanya, ayah kandung Lana sangatlah tempramental dan suka bermain tangan.

"Kamu gak salah lihat, Kak?" tanya Darma memastikan takutnya jika Lana salah menilai.

Sontak Lana menggeleng tak terima. "Aku gak salah lihat, Yah. Aku tahu mana luka lebam karena dipukul dan jatuh, itu pasti beda."

"Ma, aku mohon, ajak kak Jihan buat tinggal di sini juga, aku gak mau kalau sampai terjadi sesuatu yang lebih dari itu," pinta Lana memohon di hadapan Tari untuk pertama kalinya. Lana termasuk anak yang gengsi, ia tak pernah meminta lebih dulu untuk hal apapun, tetapi ini menyangkut saudaranya.

"Lana, sejak kapan kamu peduli dengan orang lain?"

"Orang lain?!" Nada bicara Lana semakin meninggi. Ia tak terima jika Jihan disebut sebagai orang lain, apalagi dengan ibu kandungnya sendiri.

"Ma, sadar! Kak Jihan masih anak kandung mama dan akan tetap selamanya!"

Tari berdiri dari duduknya. Ia berniat untuk pergi ke kamar saja dibanding berdebat dengan Lana yang tidak ada ujungnya.

"Sejak perpisahan hari itu, baik Jihan maupun papa kamu, mereka bukan siapa-siapa lagi buat Mama," aku Tari dengan tegas lalu meninggalkan Lana dan Darma.

Kedua tangan Lana mengepal kuat. Ia pun menahan air matanya agar tidak keluar.

Mama jahat.

"Nanti biar Ayah yang coba bicara sama mama kamu, ya," ucap Darma sambil mengelus puncak kepala Lana.

Beruntunglah Tari yang bisa kembali menemukan cintanya pada orang lain. Lana bersyukur karena sang mama tidak lagi salah pilih pasangan. Darma sangat baik, bahkan ia sering merasa jika Darma adalah ayah kandungnya, tetapi nyatanya bukan.

Darma memeluk sang putri. Mencium dahinya penuh kasih sayang. "Kamu tenang, pasti kakak kamu akan baik-baik aja. Tentang mama, Ayah coba bujuk sebisa mungkin."

Selalu seperti ini, bagaimana Lana bisa membenci Darma karena menjadi ayah tirinya yang baik hati? Padahal, awal pernikahan Tari dulu ia masih belum bisa menerimanya. Namun lambat laun, karena sikap Darma yang lembut dan penyayang berhasil membuatnya luluh.

"Terima kasih, Ayah."

^•^

Surakarta, 07 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang