39: Don't Cry, Ayi

19 2 2
                                    

Semakin hari keadaan di sekolah sangatlah berbeda. Tidak ada lagi Lana di hari-hari mereka. Walaupun begitu, perbincangan hangat tentang video Lana belum juga padam.

Satu minggu berjalan begitu saja, Ayi merasa sangat kesepian saat di sekolah. Sebab Naya yang sibuk menghabiskan waktu bersama Ibas. Namun, ketika pulang sekolah, Ayi menyempatkan waktunya untuk datang ke cafe Lana. Menceritakan apa yang terjadi selama hari-harinya di sekolah.

Baru saja hendak melangkah ke tempat duduknya, Ayi dikejutkan dengan banyaknya sampah yang berada di atas mejanya. Jantungnya pun berdetak tak karuan. Melihat begitu banyak sampah yang berserakan di area tempat duduknya dan Lana.

"Siapa yang ngelakuin ini, sih?" Ayi berdecak menahan tangisnya. Merasa sedih karena tempat duduknya dan Lana yang menjadi kotor. "Gue harus buat perhitungan sama orang yang buat meja gue sama Lana kotor."

"Uhh, bau banget. Lo gak mandi, ya, Ay?"

Spontan Ayi menoleh ke belakang. Menatap salah satu teman sekelasnya dengan bingung. Thea, murid perempuan yang paling menor dan suka menghina.

"Ternyata, lo sakit jiwa aslinya," sambung Thea menyindir Ayi secara langsung di hadapannya.

Tentu hal itu sukses membuat Ayi menatapnya terkejut. Tidak hanya ada Thea, tetapi juga ada beberapa teman sekelasnya yang lain. Bahkan ada juga dari kelas lain yang turut hadir. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Ah, lo belum lihat berita terbaru di grup angkatan, ya?" Thea menutup mulutnya seakan keceplosan. "Kemarin Lana, sekarang lo. Emang geng kalian itu yang paling benar cuma Naya, ya?"

Thea segera menunjukkan bukti dari ucapannya. Memperlihatkan sebuah foto yang berisi penjelasan tentang penyakit Ayi. Itu hasil konsultasinya waktu itu!

"Harusnya, lo itu di rumah sakit jiwa, bukan sekolah kayak kita-kita," sindir mereka yang disambut tawa oleh yang lain.

Ayi mengepalkan kedua tangannya. Menatap mereka satu per satu. Dalam hati ia terus mengutuk seseorang. Seseorang yang paling berpeluang besar menyebarkan berita tentang dirinya.

"Bisa-bisanya Merah Putih nerima murid yang gak war—

"DIAM!"

Brak.

Dengan emosi yang memuncak, Ayi menendang salah satu kursi yang ada di sekitarnya. Tatapannya pun semakin menajam.

"Eh, ngamuk. Mau diikat aja gak? Biar kayak pasien RSJ yang ngamuk-ngamuk gak jelas."

"HAHAHA."

Detik itu juga dunia Ayi seakan berputar. Salah satu tangannya pun berusaha menahan bobot tubuhnya dengan memegang ujung meja. Sialan, ia tidak boleh kalah dengan begitu mudah.

"Lo semua gak ada yang tahu gimana hidup gue sebenarnya!"

"Kalau lo sakit jiwa?"

Lagi, hinaan itu membuat Ayi menaruh dendam pada seseorang. "Gue bilang diam, ya, diam!" bentak Ayi semakin mengamuk. Emosinya berada di ujung tanduk sekarang.

"Ay, lo baik-baik aja, kan?"

Saat itulah kelas yang awalnya sangat berisik berubah menjadi sunyi. Ayi menatap ke arah sosok yang baru saja masuk ke dalam kelas. Kepalan tangannya pun semakin menguat.

"Kalian ngapain di sini? Jangan ganggu sahabat gue," bela Naya berjalan mendekati Ayi. Berusaha melindungi sahabatnya, takut jika mereka terus memaki atau bahkan melakukan hal diluar batas.

"GAK USAH MUNAFIK LO ANJING!"

Plak.

"Argh," ringis Naya saat kepalanya tertoleh ke arah kiri. Tamparan yang terjadi tiba-tiba itu membuat semua pasang mata terkejut. "Kenapa lo nampar gue, Ay? Gue salah apa sama lo?"

Bukannya meminta maaf, Ayi justru menjambak rambut Naya. "Salah apa? Gak usah sok polos dan baik. Lo yang sebar foto itu kan? Kenapa lo bisa selicik ini sebagai manusia, Naya?"

Naya justru meneteskan air matanya karena tidak kuat menahan sakit dari jambakan Ayi. "Gue niatnya baik mau nolong lo dari mereka, tapi ken—

"DIAM!" Dalam satu kali hentakan, Ayi menghempaskan tubuh Naya hingga tak sengaja menabrak ujung kursi.

Melihat itu mereka tidak tinggal diam. Thea segera membantu Naya hingga kedua matanya pun melotot terkejut. Ada darah di kening Naya!

"Selain sakit jiwa, lo juga berbakat sebagai calon pembunuh, ya," maki Thea sambil mendorong Ayi. Hitung-hitung sebagai balasan atas perlakuannya pada Naya tadi. "Udah baik dia mau belain dan nolong lo. Kalau gue jadi Naya, udah ogah temenan sama cewek sakit mental kayak lo."

"Lo gak papa kan, Nay?" tanya Thea membantu Naya untuk berdiri. "Kita ke UKS aja, ya?"

Ayi hanya diam. Tatapannya tidak pernah lepas dari Naya yang pandai dalam memainkan peran.

"Ay, gue harap lo gak marah lagi sama gue. Gue berani sumpah, bukan gue yang sebar foto itu."

Bullshit! Ayi tahu betul dari tatapan Naya yang mengatakan jika sahabatnya itu sedang berbohong.

"Mending, lo berobat, deh. Jangan berani buat melangkah ke sekolah ini lagi sampai lo benar-benar sembuh," bisik Thea sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas bersama Naya. Berniat untuk mengantarkan korban dari Ayi untuk mengobati lukanya.

"Udah gak waras, pembunuh juga!"

"Harusnya lo itu gak di sini."

"Ke rumah sakit jiwa aja sana!"

"Gak nyangka, pantas aja dia kayak gitu."

"Naya udah baik banget, tapi dianya yang gak tahu terima kasih."

"PERGI!" usir Ayi mengacak rambutnya frustasi.

Naya, Naya, dan Naya terus! Ayi sampai muak mendengar nama itu di telinganya. Semua orang terus memuja sahabatnya. Padahal, mereka tidak tahu saja jika yang katanya 'peran utama' dari cerita ini adalah manusia paling licik dan berjiwa iblis.

"Lo ngusir kita?" Salah satu dari mereka melangkah maju. Menatap Ayi dengan tatapan remeh sekaligus jijik. Tangannya bergerak mengambil beberapa sampah yang berserakan di atas meja. "Lo tahu ini apa? Sampah! Sama kayak lo yang pantasnya itu ada di bawah!"

"... di bawah buat diinjak-injak," sambungnya dengan senyuman yang mengerikan di mata Ayi.

Tanpa aba-aba, mereka semua menarik pergelangan tangan Ayi. "Yang harusnya diusir dari sekolah ini itu lo! Cocok banget lo temenan sama Lana. Sama-sama rusak."

"JANGAN BAWA-BAWA LANA!"

Ayi bisa saja menerima jika orang lain menghina dirinya. Akan tetapi, ia paling tidak bisa jika ada yang menghina sahabatnya—Lana. Baginya, Lana adalah sahabat yang terbaik, rumah tempatnya pulang, juga bercerita.

"Lo semua gak tahu apa-apa," ucap Ayi menghempaskan tangan yang mencengkeram lengannya dengan kasar. "Orang yang kalian bela itu bermuka dua. Salah kalau gue yang sakit mental mau sekolah? Apa gue merugikan kalian? Gue minta uang sama kalian?"

"ENGGAK!" Ayi sudah terlanjur frustasi. Semua orang sibuk menghakimi dirinya, juga Lana. Tanpa mau cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Gak perlu ngusir, gue masih ingat di mana letak gerbang sekolah."

^•^

Surakarta, 08 Januari 2024

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang