40: Yang Hancur Lebur Akan Terobati

24 1 0
                                    

Ting.

Suara lonceng itu menarik perhatian Rawi. Segera ia bergerak untuk membantu membawakan barang belanjaannya.

"Di atap ada Ayi," beritahu Rawi sebelum ia lupa. Sebab sahabat Lana itu sudah menunggu dari lama. "Katanya, kalau lo udah pulang, susul dia ke atas. Dia mau ngomong penting."

"Ayi?" tanya ulang Lana memastikan yang langsung diiyakan oleh Rawi. "Biar nanti gue aja yang susun. Gue ke atas dulu, ya," sambungnya sebelum melangkah menuju rooftop.

Secepat mungkin Lana melangkahkan kakinya. Tak ingin membuat sang sahabat menunggu lama.

"Ay," panggil Lana berjalan mendekati Ayi yang sedang menatap ke arah langit. "Lo dari pulang sekolah langsung ke sini?"

Ayi tersenyum tanpa menjawab pertanyaan dari Lana. Justru ia mendekap tubuh sahabatnya begitu erat. "Gue kangen banget sama lo, Na. Gue kesepian karena gak ada lo di kelas," jujurnya semakin mengeratkan pelukan.

Mendengar pengakuan itu, Lana terkekeh pelan. "Ada-ada aja. Kan, lo bisa ke sini kalau kangen sama gue, atau bisa gue samperin langsung ke apartemen lo."

Ini yang membuat Ayi begitu mempertahankan persahabatannya dengan Lana, dibanding Naya yang berhati busuk. Lana adalah sosok perempuan apa adanya, tidak munafik, apalagi manipulatif agar dinilai baik oleh orang lain. Sahabatnya itu justru lebih menampakkan sikap dan sifat buruknya. Hal itulah yang membuat orang lain sering salah paham dalam menilainya.

"Mau gue buatin americano gak?" tawarnya yang langsung ditolak oleh Ayi. "Kenapa lo? Murung banget, ada masalah di sekolah atau gimana?"

"Gue gakpapa, kok," bohong Ayi menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Sebab ia tahu, beban dan luka Lana sangat banyak. Ia tidak ingin menambah pikiran bagi sahabatnya.

"Eh, lo lagi sibuk gak? Soalnya, gue cuma mau ngobrol bentar doang, kok," ucap Ayi menyadari jika Lana tidak sebebas dirinya. Ada tanggung jawab yang harus dilakukan sebagai pemilik cafe.

Lana menepuk bahu Ayi pelan. "Lo kayak sama siapa, sih? Sesibuk-sibuk gue, kalau lo butuh, gue akan kasih semua waktu gue kalau bisa."

Spontan Ayi tertawa mendengarnya. "Kalau lo ngomongnya sama cowok, udah yakin dia pasti baper sama kata-kata lo."

"Buruan, lo mau ngomong apa?" Lana menatap Ayi lebih dalam. Entah mengapa, ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama sahabatnya. "Eh, Naya mana? Gak ikut ke sini?"

"Gak perlu bahas dia," balas Ayi terdengar sangat ketus. "Nanti, gue akan kasih petunjuk siapa Naya sebenarnya. Sekarang ada yang lebih penting."

"Lo bahagia gak punya sahabat kayak gue?"

Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar begitu saja. Tanpa perlu berpikir, Lana segera menjawab, "bahagia banget, lah. Kenapa nanya gitu? Lo gak malu kan punya sahabat yang badannya udah ke ekspos ke mana-mana?"

"Na, please," pinta Ayi memegang kedua pundak Lana. "Lo lebih berharga dari mereka yang ngatain lo. Gue tahu lo perempuan yang kuat, kalau gue jadi lo, gue pasti udah gila dan depresi."

"Tapi tahu gak, Na?" Ayi kembali melanjutkan percakapannya tanpa memberi Lana cela untuk merespon lebih dulu. "Sejauh ini, gue bertahan cuma buat lo, bukan diri gue."

"Kok, gue?" Lana menunjuk dirinya bingung. Meski hatinya sedikit menghangat mendengar perkataan Ayi. "Kenapa bukan karena diri lo sendiri?"

"Karena lo adalah panutan gue. Lo cewek yang kuat, Na, gue akui itu."

Lana menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Menarik napas panjang sebelum kembali menjawab, "lo tahu gak kenapa gue bisa sesantai ini di saat banyak banget berita tentang gue? Gue gak buta kalau semua orang mandang gue dengan tatapan berbeda, Ay. Cuma yang gue ingat satu, bertahan untuk hal-hal kecil."

"Untuk makanan yang belum dicoba, untuk tempat yang belum didatangin, dan waktu berharga sama orang terkasih."

"Termasuk ke Banda Neira?" Ah, mendengar itu Lana jadi teringat akan janjinya.

"Satu lagi, gue selalu dengar lagu ini kalau banyak pikiran. Lo mau dengar?" tawarnya mengeluarkan airpods yang berada di kantong celana. Dengan senang hati Ayi menerima salah satunya dan mulai mendengarkan.

Jatuh dan tersungkur di tanah aku
Berselimut debu sekujur tubuhku
Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat

Yang...
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

"Na?"

"Dengerin aja," timpal Lana merangkul pundak sahabatnya. "Pahamin setiap katanya, Ay, karena dengan begitu lo akan tahu alasan gue ngajak kalian ke Banda Neira."

Ayi hanya diam menurut. Mulai memejamkan kedua matanya, menikmati setiap lirik yang didengar. Setiap untaian kata yang keluar terdengar begitu menenangkan. Ayi seolah berada di dunianya sendiri.

"Karena lagunya aja sebagus ini, apalagi tempatnya?"

Benar, Banda Neira bukan hanya tentang lagunya yang indah, tetapi juga tempatnya. Seperti kata Sutan Sjahrir 'Jangan dulu mati sebelum ke Banda Neira'. Kata-kata itu menjadi motivasi paling utama untuk Lana bertahan hingga detik ini. Ia berjanji, tidak akan mengambil langkah salah sebelum ke Banda Neira.

"Jadi, gue akan tetap bertahan, sampai gue bisa pergi ke Banda Neira," ungkap Lana yang mungkin saja bisa bertentangan dengan pemikiran orang lain. 

Lana menoleh, menatap Ayi yang sedang memejamkan kedua matanya.

"Lo mau bertahan sampai kita bisa pergi ke sana kan?"

^•^

Usai menghabiskan waktu bersama Ayi di atap, Lana segera kembali membantu Rawi untuk mengurus cafe. Namun, baru saja hendak membuat salah satu pesanan, perutnya tiba-tiba saja terasa mual.

"Huek." Secepat kilat Lana melangkah ke arah toilet.

"Kenapa, Na?" Rawi mengerutkan dahinya bingung melihat sikap Lana. Segera ia menggantikan tugasnya yang sedang membuat pesanan.

Sedang di toilet, Lana tidak memuntahkan apa-apa. Akan tetapi perutnya terasa sakit, juga mual. Seketika ia teringat akan sesuatu. Detik itu pula jantungnya berdetak kencang.

"Gak, ini gak mungkin," gumam Lana seraya membuka ponselnya untuk melihat kalender.

Prang.

Lana baru ingat, ia sudah telat h*i* kurang lebih dua minggu. Pandangannya pun berubah menjadi kosong, seiring dengan wajahnya yang menjadi pucat pasi. Astaga, apa yang harus ia lakukan.

"Gak, ini pasti cuma sakit perut biasa aj—

"Huek."

Lagi, Lana kembali merasa mual. Ia hanya memuntahkan lendir putih. Sebab sudah tak terhitung sejak kapan ia tidak menyentuh nasi.

Setelah merasa baikan, Lana mencuci wajahnya. Menatap ke arah cermin dengan penuh ketakutan.

"Gue gak mungkin hamil, kan?"

Jika sampai hal itu terjadi, ia tidak bisa membayangkan betapa hancur hidupnya. Tari pasti akan membencinya, begitu juga dengan Darma yang akan merasa kecewa.

Ujiannya jangan berat-berat, Tuhan, Lana gak kuat.

^•^

Surakarta, 09 Januari 2024

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang