Kepulan asap terus keluar dari mulut Lana. Pikirannya sedikit kacau pagi ini. Permasalahan Ibas mungkin sudah selesai, tetapi sekarang ia kehilangan pekerjaan. Ah, juga pertengkarannya dengan sang mama yang kembali terulang.
Lana harus berusaha mencari pekerjaan part time setelah ini. Ia tidak bisa berdiam diri di dalam rumah yang membuatnya muak.
"Lana!"
Panggilan itu membuat Lana tersentak. Tanpa menoleh pun ia sudah mengenali suara lembut itu. Naya. Bukankah sahabatnya itu sedang marah padanya?
"Lo masih ngerokok?!" tanya Naya sedikit membentak. Kedua matanya melotot tajam, lalu menarik benda panjang yang tersisa setengah itu secara kasar. Menginjaknya dengan sepatu hitam kesayangannya. Lana memang susah diatur!
Melihat itu menjadi suatu hal yang biasa bagi Lana, ia sama sekali tidak ambil hati. Namun, untuk saat ini ia sangat membutuhkan ketenangan.
"Lana, gue bilang cukup!" gertak Naya yang semakin emosi kala Lana kembali mengeluarkan rokok dari saku roknya. Haruskah ia menyeret sahabatnya ini ke ruang BK? Kebetulan Naya menjabat sebagai wakil ketua OSIS, akan tetapi jabatannya sering disalahgunakan untuk menutupi kelakuan Lana.
Lana tertawa sumbang. "Kenapa, Nay? Gue lagi butuh banget sama benda ini. Gue lagi cari ketenangan," akunya membela diri.
Naya menggeleng kuat. Tidak, tidak seperti ini caranya. "Lo punya gue, punya Ayi juga, kenapa harus cari ketenangan di tempat lain, Na? Bahkan, ketenangan yang lo cari pun adalah cara yang salah."
"Ibas, cowok yang sangat lo cintai, di mana dia?" Naya menantang dengan sarkas. "Di mana dia di saat lo butuh gini?! Gue yakin kalian masih pacaran kan? Ngelihat lo yang masih berangkat bareng sama dia tadi pagi itu udah jadi bukti yang sangat jelas."
"Lo bodoh, Lakuna," maki Naya mendesis pelan.
Lagi, Lana tertawa sumbang. Menatap Naya dengan tatapan yang penuh kecewa.
"Lo mau tahu alasan kenapa gue pertahanin Ibas sampai sekarang?"
Lana turun dari tempat duduknya yang berada di pinggiran pembatas. Menatap Naya yang berdiri menghadapnya.
"Karena dia bisa memahami gue lebih dari siapa pun. Dia bisa mengerti gue dengan baik. Bahkan, gue gak perlu ngemis perhatian sama dia. Gu—
"Tapi dia main cewek di belakang lo! Apa lo gak menuntut kesetiaan sama dia?!"
Lana mengatupkan kedua bibirnya rapat. Ia memandang ke arah langit untuk sementara. Seketika ia teringat dengan sosok yang sama sekali tidak ingin diingatnya.
"Lo tahu kisah orang tua kandung gue kan?" Lana bertanya sambil berjalan mendekati Naya—menyudutkan sahabatnya ke tembok. "Persis, papa gue selingkuh dan akhirnya ninggalin mama gue. Gue gak mau kejadian itu juga jatuh ke hidup gue, Nay. Gue gak mau kayak mama yang bodoh dengan ngelepas papa gitu aja. Sejak awal, Ibas adalah milik gue, dan itu berlaku selamanya. Mau dia selingkuh, main gila sama cewek lain, pemenangnya harus tetap gue."
"Lo gila, Na." Naya tidak habis pikir dengan pemikiran bodoh sahabatnya. Haruskah ia memaki Lana dengan kata-kata kasar? Masih banyak laki-laki baik di luar sana yang bisa mencintai Lana dengan tulus, tetapi Ibas tetap pemenang hatinya.
Bukannya tersinggung, Lana justru terkekeh. Ia menepuk puncak kepala Naya dengan pelan. "Mangkanya, hubungan gue dan Ibas bertahan lama. Prinsip gue, setiap orang punya sisi baik dan jahatnya masing-masing. Termasuk, lo."
Naya mengerutkan dahinya tak paham.
"Gue yakin, kita semua punya sisi buruk dan liar masing-masing, Nayanika. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari nanti bakal kebongkar sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me [END]
Novela JuvenilSiapa di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Baik Lana, Ibas, Naya, Rawi, juga dengan Ayi. Mereka sangat ingin dicintai hingga keegoisan menguasai segalanya. Lana mengira jika dirinya adalah peran utama dalam cerita ini, tetapi gilanya ia adalah p...