24: Jarak dan Ego

27 4 7
                                    

Mobil merah itu melaju begitu cepat membelah jalanan. Lana berusaha menahan tangisnya. Lagi, kenapa ia kembali merasa sakit di saat dirinya sedang terluka di bagian fisik?

"ARGH!"

Lana berteriak histeris di dalam mobilnya sendiri. Lebih baik ia memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Tak ingin kejadian buruk kembali menimpa. Sebab luka di bagian perut ini sudah lebih dari cukup.

"Mereka gak mungkin khianatin gue, kan?" tanya Lana pada dirinya sendiri.

Drrrt drrrt drrrt.

Suara ponsel itu terdengar nyaring. Lana melihat nama yang tertera di sana. Ayah. Kenapa momennya sangat pas sekali?

"Halo, Lana, kenapa jam segini belum pulang, Nak?"

Lana memejamkan matanya. Selalu, Darma berhasil membuatnya merasa menjadi anak yang paling beruntung di dunia. Merasa begitu hebatnya dicintai oleh seorang ayah.

"Ayah," panggil Lana sambil menggigit bibir bawahnya kuat. Tak ingin membuat Darma merasa khawatir, tetapi sungguh, rasanya ia seperti ditikam ribuan kali.

"Lana, kamu kenapa?" Sialnya, Darma selalu berhasil memahami Lana melebihi siapa pun.

"Lana, jawab ayah!"

Suara tangis yang sejak tadi ditahan pun lepas begitu saja. Lana menangis melampiaskan semua emosinya.

"Ayah, aku butuh Ayah."

^•^

Selang infus menjadi pemandangan pertama kala Lana membuka kedua matanya. Namun saat matanya mengedar, ternyata ia berada di kamarnya sendiri. Seketika senyumnya terukir, Darma berhasil membuatnya nyaman. Sebab Lana paling membenci rumah sakit.

Ceklek.

"Udah bangun, ternyata," sindir Tari yang baru saja masuk ke dalam kamar. "Kenapa, sih, Na? Kenapa kamu selalu merepotkan orang lain?!"

Lana berusaha bangun dari posisi tidurnya. Menahan rasa nyeri yang menjalar di bagian perut. "Maaf kalau aku selalu ngerepotin kalian."

"Kamu itu selalu ngerepotin ayah! Dia pulang kecapekan, tapi kamu malah minta jemput dalam keadaan luka parah!"

"Habis berantem sama siapa kamu? Ngerasa hebat banget jadi cewek?!"

"Kalau Mama cuma datang buat ngomel, mending ke luar aja, aku mau istirahat," usir Lana secara terang-terangan. Menatap Tari malas karena bukan perhatian yang didapat, justru kata-kata yang membuat telinganya panas. "Mama gak tahu aja cerita aslinya gimana, gak mungkin aku rela ngorbanin tubuh sendiri untuk hal yang sia-sia."

"Mama capek ngurusin hidup kamu, Na."

"Ma," lirih Lana yang kali ini menatap Tari dengan tatapan berbeda. "Bisa gak? Sekali aja, Mama tanya keadaan aku?"

"Aku hampir mati, loh, Ma. Aku gak butuh perawatan dari Mama sebab ada ayah yang selalu stay tanpa aku minta. Cuma satu yang aku mau," jeda Lana menarik napas panjang. "... aku cuma mau Mama tanya 'aku kesakitan atau enggak?', 'aku baik-baik aja atau enggak?' Kenapa, Ma? Sulit banget, ya, jadi orang tua yang bisa ngertiin anaknya?"

"Kam—

Lana mengangkat tangannya, tidak membiarkan Tari untuk merespon ucapannya.

"Aku orangnya gak maruk banget perasaan, tapi kenapa sekarang Mama jauh banget, ya, dari aku?"

Sungguh, Lana seolah merasa ada sekat antara dirinya dan Tari. Seolah ada benteng tinggi yang membatasi.

"Mama sadar gak, sih, kalau aku jauh banget dari jangkauan Mama? Walaupun kita serumah, tapi aku gak ngerasa ada kehadiran Mama di sisi aku. Kenapa, ya?" tanyanya bingung pada dirinya sendiri. Ia terkekeh pelan untuk sesaat. "Aku bahkan gak pernah lagi ngelihat raut khawatir Mama kalau aku terluka."

"Salah satu ujian jadi orang dewasa itu dijauhin sama orang tua sendiri, ya?"

Tari hanya diam dengan kedua tangan yang saling mengepal. Ia membuang pandangannya ke arah lain saat tak sengaja bersitatap dengan mata Lana yang memancarkan luka.

"Apa karena aku gak sepintar Nada? Ah, aku juga naka—

"Cukup, Lana. Kamu itu sudah besar dan Nada masih kecil. Dia masih butuh kasih sayang seorang ib—

"Katanya, kasih sayang ibu itu sepanjang masa, tapi kenapa Mama sayang sama aku di waktu kecil aja, ya?"

Suara Lana terdengar serak, ia menghapus air matanya kasar. Sebab menangis di depan orang lain bukan Lakuna.

"Tidur, kayaknya dosis obat kamu terlalu tinggi."

Hanya kata itu yang dijadikan sebagai penutup, karena Tari segera melangkah pergi dari kamar anaknya.

"Kenapa gue selebay ini, sih?" Lana tertawa saat air matanya terus mengalir deras. Bahunya bergetar hebat, tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja dengan suara tawanya.

Apa kalau gue mati mama juga gak peduli?

^•^

Pagi ini Lana dikejutkan dengan kehadiran Ibas dan Siren yang datang menjenguknya. Untung saja Tari sudah berangkat ke butik kesayangannya, juga Darma yang pagi ini sudah ada janji dengan pasiennya.

"Kak Lana baik-baik aja?" Pertanyaan yang selalu ditunggu-tunggu oleh Lana akhirnya ke luar dari seseorang yang tak ia sangka. "Maafin gue karena kalau bukan nolongin gue, Kak Lana gak sampai kayak gini."

Lana tersenyum meyakinkan jika luka yang didapatnya bukan apa-apa. "Gak masalah, kemarin gue nolongnya karena kita sama-sama perempuan."

"Na, kenapa kemarin gak mampir dulu?" Ibas mencela obrolan mereka. Menatap kekasihnya penuh khawatir saat Siren yang menceritakan semuanya. "Kenapa kamu bisa seceroboh itu? Aku panik banget saat tahu kalau kamu ditusuk."

"Bukannya kamu asik sama Naya?" tanya balik Lana tersenyum sinis. "Kenapa? Belajar lagi?" Lana lebih dulu bersuara saat Ibas yang hendak menjawab. Entahlah, ia terlalu muak mendengar berbagai alasan.

"Kamu tahu sendiri, kan? Aku belajar buat persiapan lomba nanti."

"Tapi harus banget belajarnya di rumah kamu? Berdua?" Lana tak mau kalah. Entah firasatnya saja atau bukan, tetapi ia berharap jika dua orang yang sangat ia sayangi tidak berkhianat.

"Kamu gak percaya sama aku, Na?"

"Kalau gak percaya udah dari lama aku putusin kamu, Bas," telak Lana tertawa sarkas. "Tapi kalau dari awal kamu udah jadi milik aku, selamanya kamu bakal punya aku, bukan orang lain."

Siren hanya diam menyaksikan drama antara Ibas dan Lana. Ia bisa melihat ketulusan dari mata Lana yang begitu mencintai saudara laki-lakinya.

"Katanya, bentar lagi Kak Lana ulang tahun?" Siren baru saja mendapat informasi dari abangnya. Kira-kira kado apa yang cocok untuk kakak iparnya?

"Iya, kenapa?"

Siren berdeham sebelum menjawab, "mau kado apa dari gue?"

Sadar akan gelagat Siren yang sedikit gengsi saat mengatakannya membuat Lana terkekeh. "Gak perlu kasih apa-apa. Cukup do'a biar hidup gue gak pahit aja udah alhamdulillah," balasnya jujur yang tidak ingin menuntut ini-itu.

"Udah mulai terima Kak Lana, nih?" Ibas sengaja menggoda sang adik dengan senyum manisnya. Merangkul pundak Siren, lalu mencubit pipinya dengan gemas. "Baru sadar, kan, kalau Kak Lana sebaik itu?"

"Aku gak bilang, ya." Siren merengut dengan wajah yang lucu.

Sedang Lana hanya tertawa melihatnya. Ada rasa senang saat Siren yang mulai menerima dirinya.

"Cepat sembuh, Kak. Nanti kalau udah sembuh, kita jalan-jalan bareng. Siapa tahu ada cowok ganteng yang mau jadi pacar kedua," ucap Siren melirik Ibas yang sudah melototkan matanya.

"Siren!"

^•^

Surakarta, 24 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang