31: Kebohongan Pertama

29 3 0
                                    

Suara burung berkicau menjadi hal pertama yang membangkitkan kesadaran Lana. Gadis itu mencoba untuk bangun meski rasa sakitnya bukan main. Rasa pusing itu kembali datang menyerangnya begitu hebat. Lana menutupi bagian tubuhnya dengan selimut.

Sial. Lana ditinggal seorang diri? Gadis itu menatap ke seluruh penjuru ruangan. Hanya ada dirinya di sini. Secepat kilat ia berjalan ke arah kamar mandi. Lana ingin membersihkan semua bagian tubuhnya yang kotor.

"Ibas," panggil Lana yang sebenarnya sangat percuma. Keadaan sunyi di apartemen ini menandakan jika dirinya benar-benar sendiri.

Suara gemercik air mulai terdengar. Lana terduduk lemas di lantai kamar mandi yang dingin. Ia kira yang terjadi malam tadi hanya sebatas mimpi buruk, tetapi ia salah besar. Semua terjadi begitu saja. Lana kehilangan mahkotanya yang sudah ia jaga mati-matian selama tujuh belas tahun. Gilanya lagi, mahkota itu direnggut oleh kekasihnya yang sangat ia cintai.

"Hiks," suara isak tangis itu mulai terdengar lirih. Lana memeluk tubuhnya lalu memukulinya secara brutal. "Gue udah gak bersih lagi! Gue kotor!" makinya pada dirinya sendiri.

"ARGH!" Lana menarik rambut panjangnya sekuat tenaga. Menangis pun tak ada gunanya lagi. Kenapa Ibas tega melakukan hal bejat itu pada dirinya?

"IBAS ANJING!"

Siapa yang tidak gila jika berada di posisi Lana? Hari ulang tahun yang seharusnya menjadi hari bahagia, justru berubah menjadi hari paling menakutkan.

"Ayah, maafin Lana."

"Maafin Lana, Ma."

Perlahan, Lana meringkuk di lantai. Tidak peduli dengan rasa dingin yang menjalar ke tubuhnya. Luka batinnya jauh lebih sakit. Kenapa semesta memberinya takdir seburuk ini?

"Papa, maafin Lala."

^•^

Sejak kejadian mengerikan itu, Lana belum berani pulang ke rumah. Ia justru pergi ke cafe-nya dan buka lebih awal. Hanya ada dirinya di sini, karena Rawi masih sekolah.

Sebisa mungkin Lana mencoba untuk melupakan semuanya dan menganggap jika hal itu tidak pernah terjadi. Namun, sekuat apapun usahanya, ketakutan itu justru bertambah besar. Satu ketakutan yang ada dalam pikirannya sekarang. Lana takut hamil, sebab seingat Lana, Ibas mengeluarkannya di dalam, bukan di luar.

Ibas pasti mau tanggung jawab, kan?

Ting.

"Selamat datang, mau pesan apa?" tanya Lana tanpa melihat siapa yang datang.

"Na," panggil orang itu menatap Lana dengan sendu.

Seketika Lana terpaku di tempatnya. Ia memberanikan diri untuk mendongak. Melihat pengunjung pertamanya dengan hati-hati. Benar saja, suara itu sudah tidak asing lagi di telinganya.

"Kak Ji?" Lana memundurkan langkahnya. Sebisa mungkin ia terlihat untuk biasa saja dan tersenyum. Seolah pertemuan terakhir mereka tidak pernah terjadi. "Mau pesan apa?"

"Kamu gak sekolah?" Jihan justru bertanya balik. Menatap sang adik bingung kala melihat raut paniknya. "Kamu sakit?" tanyanya lagi menyadari wajah pucat Lana. 

"Kalau Kak Jihan gak mau pesan apa-apa, silakan pergi," usir Lana tanpa memikirkan ucapannya yang bisa saja membuat Jihan tersinggung.

Jihan berdeham, melirik ke arah menu yang tertera di depan kasir. "Aku pesan americano satu, tapi selama aku di sini, bisa kita bicara sebentar?"

"Bicara apa?" Lana bertanya dengan nada tak santai. "Aku sibuk."

"Tentang kamu," balas Jihan menatap sang adik dengan intens.

"Semalam, aku lihat kamu sama cowok ke apartemen."

^•^

Lana menarik napasnya panjang. Menatap rumahnya dengan perasaan yang gundah. Sekali lagi, ia menarik napasnya, lalu membuang secara perlahan.

"Tenang, Na. Mereka gak tahu dan semuanya pasti bakal baik-baik aja," gumam Lana memejamkan matanya sebelum akhirnya turun dari mobil. Ia nekat pulang tengah malam agar tidak bertemu dengan Tari, juga Darma.

Untung saja Lana punya kunci cadangan. Memudahkan dirinya untuk pulang jam berapa pun.

"Masih ingat jalan pulang?"

Detik itu juga Lana terperanjat di tempatnya. Lampu yang semula gelap langsung menjadi terang. Suara Tari yang penuh intimidasi itu membuatnya sedikit panik.

"Ke mana aja semalaman gak pulang?" Tari berjalan mendekati anaknya. Menatap wajah pucat Lana penuh curiga. "Kenapa muka kamu pucat banget?"

Spontan Lana menjaga jarak saat Tari ingin memegang wajahnya. Ia tersenyum tipis sebelum berujar, "malam kemarin banyak banget pelanggan yang datang, Ma. Jadi karena aku kecapekan mangkanya aku nginap di san—

"Mama gak suka kebohongan, lohh." Tari berhasil membuat Lana mati kutu di tempatnya. "Kamu ingat pertengkaran pertama Mama dan papa dulu? Itu karena papa kamu bohong sama Mama."

"Aku gak bohong, kok," elak Lana masih teguh dengan pendiriannya. "Ini aja aku baliknya udah malam banget, kan? Alhamdulilah-nya cafe aku rame, Ma."

"Jangan buat Mama kembali seperti dulu, Na," tegas Tari agar Lana tidak mempermainkannya. Ia sangat benci kebohongan. Apalagi yang berbohong adalah orang terdekatnya. "Mama gak suka banget kalau kamu bohong, karena kalau udah bohong sekali, berikutnya akan ada banyak kebohongan lain."

"Ma, udah malam." Lana membenarkan posisi ranselnya. Menatap Tari dengan tatapan penuh arti. "Aku mau istirahat dulu, ya?"

Tanpa menunggu jawaban dari sang ibu, Lana segera melangkah ke arah tangga. Pemandangan itu tidak pernah lepas dari tatapan Tari. Ia sangat tahu jika Lana berbohong sebab Darma kemarin malam mengecek ke cafe-nya, tetapi tidak ada siapa pun di sana.

Lagi, Tari semakin curiga kala melihat cara jalan Lana yang berbeda dari biasanya. "Kaki kamu sakit? Atau kenapa?"

Deg.

Kedua bola mata Lana membulat. Ia memaki dirinya sendiri karena ceroboh. "Ah, tadi waktu beres-beres aku gak sengaja kepleset," bohongnya yang sangat merasa bersalah.

"Kalau sampai besok masih sakit juga, nanti Mama cariin tukang urut biar cepat sembuh."

Ingin sekali Lana menangis kencang dan memeluk tubuh Tari. Menceritakan semua kejadian buruk yang menimpanya kemarin, tetapi mentalnya tidak sanggup. Ia tidak ingin melihat Tari menangis, lebihnya bisa sampai marah besar.

Benar, apa yang diucapkan oleh Tari menjadi kenyataan. Kebohongan pertama akan menciptakan kebohongan lainnya. Lihat, masih mampukah Lana untuk menipu Tari di saat ibunya yang sudah mulai berubah?

Kenapa takdir seburuk ini?

"Kamu udah makan?" tanya Tari yang ternyata belum beranjak dari posisinya. "Kalau belum, tadi Mama udah pisahin lauk kesukaan kamu. Siapa tahu kamu gak sempat makan karena terlalu sibuk ngurusin cafe."

Saat di ujung tangga, Lana menoleh dengan senyum manisnya. Tari benar-benar belajar menjadi sosok ibu yang baik untuknya.

"Besok aja, tadi aku udah makan, kok," bohong Lana tak ingin terlalu lama berkomunikasi dengan Tari.

"Ah, gitu." Tari menganggukkan kepalanya mengerti. "Udah, istirahat sana, selamat malam."

"Ma," panggil Lana sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Tari hanya diam, menunggu perkataan selanjutnya.

"Lana sayang Mama—selamanya."

Bahkan, jika ada kehidupan lagi setelah ini, Lana tetap menyayangi Tari. Tepatnya, sepanjang masa.

^•^

Surakarta, 01 Januari 2024

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang