36: Hari-Hari Kehancuran

32 3 5
                                    

Usai kejadian di lorong, Lana berniat untuk bolos sekolah. Ia segera memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas. Tidak peduli jika setelah ini namanya akan masuk ke dalam buku hitam. Lana ingin pergi menjauh dari keramaian untuk sementara waktu.

Sedang Ayi dan Naya hanya bisa diam tanpa mencegah. Sebab Lana berhak mencari ketenangan.

"Mau gue temenin gak, Na?" Ayi menawarkan diri. Siapa tahu Lana membutuhkan seseorang untuk menemaninya. "Gue rela bolos, kok. Sama gue aja perginya, ya?"

Bukannya apa, Ayi takut terjadi sesuatu kepada Lana. Sahabatnya itu pasti sedang banyak pikiran dan kacau. Apalagi jika mengendarai mobil seorang diri, sangat bahaya.

"Gue mau sendiri dulu, Ay," tolak Lana halus. Suaranya pun terdengar serak. Ia sudah lelah untuk menangis, percuma saja. Semuanya sudah terjadi. Seluruh murid Merah Putih telah mengetahuinya. Lana benar-benar membenci Ibas. "Kalau nan—

"Na, lo dipanggil bu Andin," ucap Rawi yang datang tiba-tiba. "Bu Andin udah tahu soal video itu," sambungnya memberi penjelasan.

Lana tersenyum kecut. "Lambat laun juga semua orang bakalan tahu, kok. Di ruangan bu Andin, kan?" tanyanya memastikan.

Terlihat Rawi yang menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Mau gue temenin?"

"Biar gue hadapin sendiri," tolak Lana lalu menyandang tasnya pada bahu kiri. "Untuk sejauh ini, terima kasih buat kalian yang tetap ada di sisi gue."

^•^

"Jadi benar itu kamu?"

Tidak ada penyangkalan dari Lana. Gadis itu hanya diam menatap lurus ke depan. Apa yang mau disangkal? Memang benar jika di dalam video itu adalah dirinya.

"Saya masih mau mendengar cerita dari kamu, Lana. Kamu berhak untuk membela diri jika terjadi kesalahan," tegas Bu Andin—kepala sekolah Merah Putih. Saat mendengar berita yang menghebohkan sekolah membuatnya langsung mengambil langkah tegas. Sebagai kepala sekolah, ia harus bisa memberikan keadilan.

"Coba kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," ulang Bu Andin, lagi. Berusaha agar Lana mau bersuara dan menceritakan segalanya. Setidaknya, sampai detik ini, ia masih mempercayai Lana sebagai muridnya. "Kamu gak mungkin mau melakukan itu, kan? Apalagi sampai di video."

"Apa mungkin kamu ...." Bu Andin sengaja memberikan jeda pada ucapannya. Terbukti ia berhasil menarik perhatian Lana yang kini menatapnya.

"... korban?"

Korban? Lana terpaku pada satu kata yang baru saja ia dengar. Seketika tangannya bergetar hebat, ingatannya kembali terlempar pada malam mengerikan itu.

"Jujur, Lana, siapa yang melakukan itu sama kamu?" Bu Andin memegang kedua tangan Lana seerat mungkin. "Kalau kamu jujur dan mau menceritakan semuanya, saya akan bantu kamu untuk mendapat keadilan. Sebagai sesama perempuan, saya tidak ingin kamu mengalami kehancuran dari kesalahan yang tidak ingin kamu lakukan."

Bodohnya, Lana tidak berani bersuara. Ah, tepatnya, ia tidak mau. Sebesar itu rasa cintanya pada Ibas? Sedang laki-laki yang melakukan hal bejat itu kepadanya pun sedang tertawa lepas di tempat lain. Menikmati kehancuran Lana atas keberhasilan balas dendamnya.

"Tidak ada pihak yang harus dibela, Bu," balas Lana menundukkan kepalanya. "Saya bukan korban, tapi saya gak menyangka kalau videonya akan secepat ini untuk tersebar."

Demi Tuhan, Lana ingin memaki dirinya sendiri atas kebodohan yang baru saja ia lakukan. Padahal, kepala sekolahnya sudah berbaik hati untuk mempercayainya lebih dulu, bukan menghakimi seperti yang orang lain lakukan. Bukankah situasi itu sangat bagus untuknya? Tetapi Lana terlalu buta akan cintanya.

Lana segera berdiri dari duduknya. Terlihat wajah Bu Andin yang berubah terkejut. "Seandainya saya korban, kehidupan saya akan tetap sama. Perempuan selalu disalahkan 'kan? Sedang laki-laki bisa meneruskan hidupnya seperti biasa."

"Terima kasih untuk rasa pedulinya dan maaf jika jawaban saya sudah mengecewakan Ibu."

^•^

Hari sudah larut, tetapi Lana baru saja pulang setelah menenangkan diri di pantai selama berjam-jam. Kepalanya terasa sangat pening karena belum makan nasi. Biarlah, ini adalah hukuman untuknya.

Setelah keluar dari mobil, Lana berjalan pelan menuju pintu utama. Baru saja ingin membuka kunci, ternyata pintu rumahnya tidak terkunci sama sekali. Tumben, batinnya bertanya-tanya.

Lampu masih menyala, Lana semakin dibuat bingung oleh keadaan rumahnya yang tidak seperti biasanya.

"Mama," gumam Lana melihat Tari yang sedang menonton televisi. "Kok, belum tidur, Ma?"

"Masih berani kamu menginjak rumah ini?" tanya Tari berdiri dari duduknya. Menatap Lana dengan tatapan penuh kebencian—seperti dulu. "Setelah apa yang terjadi, setelah kamu berhasil membuat keluarga malu, kamu masih berani buat pulang?"

Apa mungkin Tari mengetahui videonya? Lana menggelengkan kepalanya, tidak mungkin kan?

"Mama ngomong apa, sih?" Lana berusaha mengelak. Ia tidak mau jika Tari kembali seperti dulu.

"Stop berpura-pura, Lana!" Tari meninggikan nada bicaranya. "Mama sudah tahu video kamu yang beredar itu. Jadi, itu alasan sebenarnya kamu tidak pulang?"

"Kamu tahu kalau Mama benci kebohongan, kan?"

"Ma, maafin, Lana," pinta Lana terduduk lesu di lantai. Ia kembali menangis kala melihat tatapan kecewa dari sang ibu. "Percaya sama aku, Ma. Aku juga gak mau kayak git—

"BOHONG!" Tari menghentakkan tangan Lana dengan kasar. Ia menghapus air matanya kasar. "Mama beneran gagal jadi seorang Ibu, Na. Mama pikir setelah pernikahan kedua ini, Mama bisa perbaiki semuanya pelan-pelan. Kita bahkan udah mulai berdamai dengan semuanya, kan?"

"TAPI KENAPA KAMU GAK BISA JAGA DIRI?!"

Plak.

Tari menampar wajah Lana sekeras mungkin. Hingga ujung bibir Lana robek mengeluarkan darah. Ia menarik kera seragam Lana.

"Gara-gara kamu Mama harus nahan malu!"

Lana hanya diam menerima semuanya. Ia memang pantas mendapatkan ini, tetapi bukankah dirinya korban seperti yang dikatakan bu Andin tadi di sekolah?

"Siapa?" tanya Tari mengeraskan rahangnya. "Siapa laki-laki itu?!"

Tidak ada jawaban dari Lana, ia hanya menutup bibirnya rapat. "Ayah."

Tepat di ujung tangga, Darma berdiri menatap Lana dengan tatapan berbeda. Untuk pertama kalinya, Darma menatap sang anak dengan kecewa.

Segera Lana berdiri dari duduknya, mendekati Darma yang hanya diam di posisinya. "Ayah, tolong percaya sama Lana. Percaya sama Kakak, Yah," pintanya memohon tetapi tidak dipedulikan oleh Darma.

"Bukan aku yang mau!" Lana mengacak rambutnya frustasi.

"Ayah kecewa," lirih Darma membuang pandangannya ke arah lain. Jujur, ia tidak tega melihat wajah Lana yang terdapat bekas tamparan, juga darah dari sudut bibirnya.

Mendengar itu Lana menggelengkan kepalanya. Air matanya kembali mengucur deras. Sepertinya hari ini ia sudah banyak mengeluarkan air mata. Tiba-tiba saja sesuatu mengalir dari hidung Lana. Ia segera mengecek dengan tangannya.

Darah? Lana mimisan!

Namun Lana tidak peduli dengan itu semua. Ia kembali menatap ke arah Tari. "Mama tahu? Aku juga gak mau ngalamin ini semua!"

"Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang nanggung dosa kalian?!"

"Kalau bisa atur waktu, aku mau minta ke Tuhan untuk gak dilahirkan."

^•^

Surakarta, 06 Januari 2024

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang