29: Dirayakan

25 3 4
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Lana baru saja pulang dari cafe. Untung saja ia selalu membawa baju ganti. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, Lana berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Ia sudah tak sabar untuk segera tidur di kasur kesayangannya. Melelahkan, tetapi ini yang selalu Lana semogakan.

Ceklek.

Gelap. Keadaan rumah yang sunyi dan tak bercahaya menjadi hal biasa bagi Lana. Kakinya terus melangkah menuju tangga.

"SELAMAT ULANG TAHUN!"

Dor.

Tiba-tiba saja lampu dinyalakan. Lana terkejut melihat apa yang baru saja terjadi. Di depannya, Darma, Tari, Ayi, juga Naya, merayakan ulang tahunnya yang ke delapan belas.

Lana menutup mulutnya tak percaya. Tiba-tiba saja air matanya mengalir begitu saja. Perasaan haru karena dirayakan sukses membuatnya campur aduk. Apalagi melihat kehadiran Tari di sana. Apakah setelah ini semua akan membaik dan kembali seperti dulu?

"Selamat ulang tahun anak Ayah," ucap Darma menyodorkan kue ulang tahun ke hadapan Lana. "Ayo, berdo'a dulu terus tiup lilinnya, ya?"

Spontan Lana mengangguk. Ia memejamkan matanya sambil tersenyum. Berdo'a dalam hati jika semoga saja setelah ini keadaan akan berubah menjadi lebih baik. Ia tidak meminta banyak. Cukup Tari berubah menjadi ibu yang penyayang, Ibas yang tetap akan menjadi miliknya, juga persahabatan mereka yang tetap terjalin erat.

"Aamiin," sahut mereka saat Lana membuka matanya dan meniup lilin.

"Yeay! Selamat ulang tahun, Na!" Ayi dan Naya menyerbu Lana dan memeluknya erat. "Semoga do'a-do'a lo terkabul semua, ya."

Tari hanya diam, tetapi tatapannya tidak pernah lepas dari sang anak. Melihat Lana yang semakin tumbuh dewasa membuatnya merasa sedikit bangga. Sebab anak bungsunya itu mampu tumbuh dengan sifat yang mandiri dan kuat seperti baja. Ah, tidak lupa dengan sikap Lana yang keras kepala—persis seperti dirinya.

"Mama gak mau kasih selamat?" Lana merentangkan kedua tangannya. Berharap jika sambutan itu diterima oleh Tari. Tentu saja, keinginannya terkabul saat itu juga, Tari memeluknya! Catat! Tari memeluknya begitu erat seakan tidak ingin terlepas.

"Terima kasih sudah tumbuh menjadi putri Mama. Maaf untuk semua kesalahan Mama selama ini, Mama janji akan berusaha menjadi ibu yang lebih baik lagi."

Apakah ini mimpi? Jika iya, Lana tidak akan pernah ingin bangun. Sebab mimpinya indah bukan main, lebih indah dari semua yang ia miliki. Ini adalah momen yang paling ia tunggu. Saat Tari mengucapkan jika dirinya adalah putrinya.

Putri Mama.

Dua kata yang berhasil memporak-porandakan hatinya. Sampai Lana kembali meneteskan air mata saking harunya.

Melihat momen bahagia itu, Darma tersenyum bangga pada sang istri. Ini adalah momen yang paling ditunggunya. Saat Tari dan Lana berdamai. Tidak ada lagi keributan, tetapi hanya kehangatan.

Sedang dari lantai dua, Nada melihat semuanya dengan tangan mengepal. Entah mengapa, ia sangat sulit untuk menerima semuanya. Apalagi melihat Tari yang sepertinya sudah berdamai dengan Lana. Hal itu membuatnya benar-benar tidak nyaman. Harusnya, Tari selalu berpihak padanya.

Semuanya direbut dia.

^•^

Lana terus mengetuk pintu kamar adiknya. Berulang kali menyerukan nama Nada agar segera membukanya. Melihat tidak ada respon, tangannya langsung membuka pintu cokelat itu, tidak peduli jika Nada akan mengomel.

"Heh, lo susah banget, dipanggil," decak Lana menatap Nada dengan garang. Sedang sang empu pun hanya melirik sinis. Tak berminat untuk berdebat sebab suasana hatinya sedang tidak baik.

"Kenapa lo?" Lana bertanya seolah peduli. "Gak mau ngucapin selamat ulang tahun buat gue?"

Mengucapkan selamat ulang tahun? Nada ingin muntah rasanya. Ia melirik piring yang berisi sepotong kue di tangan Lana.

"Bawa ke luar, gue gak suka makanan manis," tolak Nada menarik selimutnya hingga menutupi seluruh bagian tubuh.

Lana kembali berdecak. "Gue taruh di atas meja aja. Setidaknya, dengan ini gue memperlakukan lo itu artinya gue masih anggap lo ada di rumah ini."

"Mau bagaimana pun juga, lo tetap adik gue."

Lana meletakkan piring itu di atas meja samping tempat tidur Nada. Memegang hendel pintu sebelum kembali melarat ucapannya," adik tiri maksudnya."

Pintu tertutup, Nada membuka selimut yang menutupi wajahnya. Melirik ke arah piring yang berisi kue ulang tahun kakaknya. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk senyum tipis sebelum kembali tersadar.

"Apa, sih?" Nada berdecak pada dirinya sendiri. "Tapi, selamat ulang tahun, kakak tiri."

^•^

Sialnya, karena terlalu asik telponan dengan Ibas semalaman membuat Lana baru bisa tidur jam empat subuh. Sedang ia baru selesai siap-siap ketika jam tujuh lewat. Bagaimana ia tidak ketar-ketir?

Tari yang baru saja selesai menyiapkan sarapan pun menggelengkan kepalanya. Kebisaan sang anak terlambat bangun bukanlah hal yang biasa lagi.

"Pelan-pelan, Lana," tegur Tari melihat Lana meneguk susu cokelat kesukaannya dengan tak sabaran. "Lagian, kamu tidur jam berapa, sih? Telat terus bangunnya."

"Udah, Mama gak usah ngomel, nanti cantiknya jadi luntur," gurau Lana sambil memasang sepatunya dengan cepat. "Kan, juga karena kalian yang rayain ulang tahu aku tengah malam."

"Ohh, jadi kamu gak mau dirayain?" Tiba-tiba saja Darma datang dengan jas putih kebanggaannya. Menatap sang putri dengan senyum menggoda. "Kamu mau hadiah apa dari Ayah? Mobil baru gimana?"

Secepat kilat Lana menggeleng. "Aku udah punya Luci," tolaknya tak terima jika Luci—mobil merah kesayangannya tergantikan oleh mobil lain. Lagipula, mobil itu dibeli menggunakan uang tabungannya sendiri. Tanpa campur tangan dari Tari, Darma, maupun Bima.

"Terus, kadonya apa, dong?" Darma mencoba berpikir keras. Sebab Lana sudah memiliki semuanya. Bedanya lagi, Lana tidak terlalu banyak menuntut ini dan itu sebagai seorang perempuan.

"Aku mau keluarga kita utuh aja udah cukup, kok," jujur Lana tanpa banyak basa-basi. Sungguh, yang saat ini ia inginkan hanya kehangatan dari keluarga. Tidak ada kado yang lebih istimewa dan berharga dari senyuman sang ibu dan ayah.

Lana menatap Tari dalam. "Kalau dari Mama, aku boleh minta sesuatu nggak?"

"Tentu, mau apa?" Tari mencoba untuk berdamai dengan semuanya. Mencoba untuk menerima semua kekurangan Lana dan tidak menuntut banyak hal.

"Aku mau kasih sayang dari Mama—sepanjang masa, gimana?"

Bukankah kasih sayang ibu memang sepanjang masa? Akan tetapi, entah mengapa, ketakutan itu terus saja menghantuinya. Lana takut jika ini hanya sementara dan kembali seperti dulu.

Tari yang kembali tidak peduli dengannya. Tidak lagi sayang dengannya. Lana mau kasih sayang ini terjalin selamanya. Seperti bait salah satu lirih lagu.

Kasih ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa.

^•^

Surakarta, 29 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang